Historiografi

SEJARAH YANG TERLUPAKAN: KIAI BUKHARI

Oleh : Tim Investigasi Aurora

Pengantar Redaksi : Majalah Aurora pada edisi ini membedah sejarah Kiai Bukhari, seorang kiai Annuqayah generasi pertama. Sungguh teramat sulit kami melacak sumber-sumber terpercaya akan kisah beliau. Namun, karena kami punya jajaran redaksi yang sungguh hebat, antara lain Vina Maa Amalna el-Auva, Khazanatul Mawaddah, Afifah Shafira dan Regina Putrimaharani, dengan menelusuri narasumber, yaitu KH. Muqshith Idris dan Kiai A. Irfan Adhim, maka, walau dalam keadaan terbatas, dapat ditulis sebagaimana di bawah ini. Selamat membaca!

***

Kesulitan Sumber Rubrik Historiografi kali ini, mungkin tidak tampil sebagaimana biasanya; tidak ada foto orang yang diceritakan, dan tidak banyak kalimat cerita yang kami kisahkan kepada pembaca. Semuanya karena heuristik (sumber sejarah) yang ada sangat sulit kami lacak. Sangat, sangat dan sangat sulit, hingga hampir saja kami menggagalkan diri menceritakan riwayat beliau. Namun, syukur alhamdulillah, pembina kami adalah orang sejarah, sehingga semangat beliau mampu membangkitkan kami untuk selalu berusaha apapun halangan yang merintang.

Sepatah Kisah Masa Kecil

Empat atau lima tahun sebelum Annuqayah berdiri 1887, kiai Bukhari lahir dari ayah seorang ulama besar berasal dari Kudus, bernama Kiai Syarqawi dan ibu berasal dari Prenduan, dikenal dengan Nyai Gemma atau Nyai Khadijah. Kiai Bukhari punya saudara seayah dan seibu, antara lain; Nyai Shalihah, Nyai Zubaidah, Nyai Jauharatun Naqiyah, Kiai Bukhari, dan Kiai Idris. Kecuali Kiai Idris, keempat putra-putri Kiai Syarqawi lahir di Prenduan (lihat Aurora edisi volume I/1/2017).

Setelah ketiga putri kiai Syarqawi dewasa, beliau berniat pindah dari kota bisnis pesisir selatan pulau Madura itu. Kepindahannya didorong hasrat besar menyampaikan pengetahuan Islam di tengah masyarakat Madura, yang waktu itu terkungkung dalam keawaman menyayat. Dalam tuturan Kiai Muqshith Idris, Kiai Syarqawi bilang, “Mun pasnan paggun e dinna’ (Prenduan) abisnis, pas sapa se maca’a ketab reya.” Tentu saja, tuturan itu teriwayatkan secara turun-temurun melalui putra-putra beliau hingga sampai kepada Kiai Muqshith Idris. Dan sumber lisan ini dapat dikatakan valid.

Dibawalah satu-satunya putra beliau, Bukhari kecil, melanglang-buana ke Madura bagian tengah. Tanah yang pertama kali Kiai Syarqawi rencanakan untuk mendirikan pondok pesantren adalah desa Prancak. Namun karena kondisi tanah yang kerontang dan sulit air bila kemarau bertandang, desa itu tak jadi pusat pusaran pendidikan Islam.

Pencarian terus berlanjut ke desa Gaddu. Sampai di desa yang berada di lereng selatan Peg. Payuddan itu, beliau berjumpa dengan seorang perempuan sepuh. Dalam tuturan lisan Kiai Muqshith Idris, perempuan tua itu bilang ke Kiai Syarqawi, “Sampeyan lamun nyareyah tempat ka lao’. Ka’assa’ banya’ damarra.” Berdasar ucapan perempuan itu, Kiai Syarqawi ke selatan di desa Guluk-Guluk. Maka, berdirilah pusat pengetahuan Islam itu di tahun 1887, yang kemudian oleh Kiai Moh. Khazin Ilyas Syarqawi, diberi nama Annuqayah. Di desa Guluk-Guluk itulah Kiai Bukhari menikmati masa anak-anak bersama kedua orang tua dan adik laki-laki, yakni Kiai Idris. Lalu lahir pula adik laki-laki lainnya, yaitu Kiai Ilyas (l. 1889) dan Kiai Abdullah Sajjad (l. 1890) (lihat Aurora edisi II dan III).

Secuil Kisah Masa Remaja hingga Dewasa

- Aktif di Dunia Politik - Generasi yang Terputus Masa remaja tetap dalam pengasuhan Kiai Syarqawi, sampai dimondokkan, yang menurut penuturan Kiai Muqshith Idris, ke pesantren Banyuanyar dan Sidogiri atau Tebuireng, Jombang. Secara pasti, Kiai Muqshith Idris tidak dapat menentukan pesantren tujuan Kiai Bukhari mondok.

Namun mengingat pada 16 Oktober 1905, dan Kiai Bukhari ikut bergabung ke organisasi pergerakan nasional Islam pertama itu, dapat ditarik benang merah dari fakta mental sejarah, bahwa Kiai Bukhari pasti mondok ke Banyuanyar, di mana bersama pesantren Bata-Bata, waktu itu adalah corong Sarikat Islam di Madura. Dan setelah itu, dipastikan pula mondok di Jombang, sebab pengaruh HOS Cokroaminoto, sang ketua SI, sangat besar di Surabaya dan Jombang.

“Keaktifan di SI dan kemudian menjadi partai politik Islam, bernama Partai Sarikat Islam Indonesia pada 1929, menyebabkan Kiai Bukhari kurang optimal dalam mengasuh Annuqayah. Beliau lebih memilih dunia politik dan rantai kepengasuhan pesantren diserahkan kepada Kiai Ilyas Syarqawi. Inilah yang menyebabkan peranan dan kiprah kepengasuhan di Annuqayah kurang diketahui sampai sekarang.” Demikian penjelasan Kiai Muqshith Idris kepada Aurora dalam wawancara tanggal 10 Maret 2022 lalu.

Dalam penuturan Kiai A. Irfan Adhim yang ditemui Aurora, disebutkan bahwa Kiai Bukhari menikah dengan gadis yang berasal dari Jambu Monyet, Lenteng, bernama Nyai Khadijah, yang juga masih ada persaudaraan darah dengan istri Kiai Idris Syarqawi. Dari pernikahan itu lahir putra lelaki bernama Kiai Ahmad Syairofi yang menikah dengan perempuan kraton Sumenep, dan punya putri bernama Nyai Hosna, akan tetapi putrinya wafat waktu kecil. Setelah itu tak punya keturunan lagi. Sayang sekali, pernikahan tersebut tidak meneruskan generasi lebih lanjut, sehingga genersi Kiai Bukhari pun terputus sampai disitu.

Menurut Kiai Irfan juga, dalam pernikahan kedua dengan Nyai Muni’ah, setelah wafatnya Nyai Khadijah, Kiai Bukhari dikarunia seorang putra laki-laki, dan lagi-lagi, sang putra ini wafat tatkala masih bayi. Keluarga beliau dan putra kecilnya, serta mertua beliau dari istri keduanya yang bernama Kiai Usman, berkumpul di pemakaman umum sebelah barat pesantren Al-Amien Tegal.

Akhirnya, mari kita kirimkan doa sejenak kepada Kiai Bukhari, agar setiap dosa diampuni dan segala pahala kebaikan beliau selama hidup diterima oleh Allah SWT. Kemudian, amal jariyah beliau tatkala merintis dan mengasuh Annuqayah juga diterima oleh Allah SWT. Al-Fatihah (baca sampai tuntas).@ (Ed:Amjun).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBENTUK IKLIM KETERBACAAN SISWI MTs 1 PUTRI ANNUQAYAH

OPINI SISWA

RAPAT TRIWULAN PIMPINAN DAN WAKA