MEMBENTUK IKLIM KETERBACAAN SISWI MTs 1 PUTRI ANNUQAYAH
Pengantar
redaksi :
Berkaitan dengan tema yang diangkat oleh
Majalah Aurora di edisi perdana ini, yaitu ‘Dahsyatnya
Membaca & Menulis’, Redaktur Kajian Utama telah berusaha semaksimal
mungkin menyajikan menu yang pas dengan selera pembaca. Berbagai sumber telah
redaktur telusuri, baik sumber kepustakaan, maupun sumber personal. Semua itu
demi tersajinya rubrik ini benar-benar akurat, namun tetap bernuansakan aurora,
sebagai cita-rasa siswi-siswi MTs 1 Putri Annuqayah, yang smart, tetapi tetap
mengedepankan adab kesantrian itu sendiri, ditambah, tentu penuh ide dan kreasi.
***
Telah disinggung sedikit dalam Gebang
Aurora, di halaman muka majalah tersayang ini, alasan pemilihan tema edisi
perdana. Jajaran Redaksi sepakat memilih tema itu karena satu alasan, yaitu
ayat pertama turun kepada Rasulullah SAW waktu beliau ber-tahannust berupa perintah ‘membaca’. Dengan membaca, baik secara
tekstual, maupun kontekstual, umat Islam menjadi pioner peradaban selama lebih
700 tahun. Semua itu telah diinformasikan dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan
Islam (SKI), bagaimana agungnya peradaban Islam tatkala masih memprioritaskan
keterbacaan, sehingga menjadi pondasi ilmu pengetahuan dan teknologi di
zamannya.
Namun, kejayaan peradaban gemilang umat
ini pelan tapi pasti mulai tercerabut setelah keterbacaannya mulai redup. Ruh
keterbacaan pindah ke orang-orang Eropa, dan peradaban pun ikut pindah ke
negara-negara Barat bersamaan hilangnyanya kebiasaan membaca umat Islam. Sejak
itu, kolonialisme dan imperialisme Barat merasuk ke jantung peradaban umat
Islam yang mulai redup. Discovery dan
invention, demikian istilah dalam
Sosiologi, mulai hilang dari diri umat Islam. Tak ada lagi penemuan-penamuan
spektakuler atau perbaikan-perbaikan dari penemuan sebelumnya, misalnya
penciptaan angka, yang kemudian dikenal dengan angka arab, penciptaan jam air
pada masa Harun al-Rasyid, memodernkan manjanik
(alat pelontar batu) pada masa shalahuddin al-Ayyubi, memodernkan meriam pada
masa Muhammad al-Fatih, dan segala penemuan teknologi masa itu, praktis sejak
kita terjajah menjadi sirna.
Bukan berarti, penurunan peradaban kita
hanya untuk diratapi. Akan tetapi, berupaya agar kegemilangan peradaban itu
kembali kita raih. Tentu saja, syarat utamanya adalah ‘memasyarakatkan iqra’, dan men-iqra’kan masyarakat’. Tidak mudah memang mengubah maindset (pola pikir) itu. Namun, jika
dimulai dari diri kita selaku siswa, diyakini bahwa kebiasaan mengamalkan surah
al-‘Alaq ayat 1-5 itu akan kembali menjadi ruh/semangat umat ini. Dan diyakini
pula, secara evolutif peradaban gemilang akan kita raih kembali. Sebab,
sebagaimana diungkap oleh Bapak Annas,
S.Pd.I (10/10/17), membaca
adalah pintu gerbang untuk dapat menulis. Membaca dan menulis cikal-bakal
menuju peradaban gemilang. Adanya dinamika peradaban karena diperoleh dari
tingkat keterbacaan masyarakat, baik keterbacaan kasat mata; membaca dengan
hati, mengamati, meneliti dan eksperimen. Lebih lanjut dikatakan, orang-orang
yang bisa menulis karena pada mulanya mereka dapat membaca dengan
sungguh-sungguh. Membaca huruf-huruf, membaca fenomena alam dan masyarakat,
membaca angka-angka merupakan cara terbaik untuk bisa menulis.
Gambar 1 : Perpustakaan Kelas
Daya dukung untuk literasi (foto
: B.W)
Berkaitan dengan mengubah pola pikir
tersebut, MTs 1 Putri Annuqayah telah berupaya sejak tiga tahun yang lalu, telah membentuk iklim
keterbacaan pada siswi. Mula-mula Bapak Annas,
S.Pd.I selaku Kepala Madrasah, mengajak warga kelas agar mempunyai
Perpustakaan Kelas. Adanya perpus kelas, diharapkan akan terjadi kegiatan
literasi, tentu saja dalam bimbingan wali kelas. Menurut beliau, perpus kelas
sungguh sangat membantu peningkatan keterbacaan siswi MTs 1 Putri Annuqayah.
Suatu misal, jika di kelas itu ada guru yang kosong, maka pengurus perpus kelas
akan mengajak warga kelasnya untuk mendiskusikan buku-buku yang telah mereka
baca satu minggu sebelumnya. Dari diskusi itu, akan dicatat tentang konten
buku, baik kelebihan atau kekuarang buku yang dikaji tersebut. Selain itu,
menurut beliau, dengan terciptanya perpus kelas secara baik, maka akan
membentuk mental siswi untuk senantiasa mencintai buku-buku atau kitab-kitab
yang ada. Bila mereka telah mencintai buku, mereka pun teranjak untuk mencintai
keterbacaan itu sendiri. Selebihnya, perpustakaan kelas telah mengajarkan siswi
untuk beramal atau mendonasikan buku-buku bermutu pada perpustakaan MTs 1 Putri
Annuqayah. Jika jumlah siswi MTs 1 Putri Annuqayah tahun pelajaran 2017-2018
ada 934 siswi, maka tiap tahun perpustakaan MTs 1 Putri Annuqayah akan menerima
donasi sebanyak itu pula.
Gambar 2 : Para tukang
sedang berupaya menyelesaikan
Taman Baca dan Out Door Class
(foto: Pem)
Iklim keterbacaan di MTs 1 Putri
Annuqayah akan semakin kondusif. Hal ini tercermin dari adanya Taman Baca yang
masih tahap pembangunan. Taman Baca MTs 1 Putri Annuqayah ini, menurut Bapak Moh. Idris, S.Pd.I., selaku Wakamad
Bidang Sarana dan Prasarana yang bertanggung jawab akan penyelesain bangunan
Taman Baca itu, diproyeksikan sebagai taman rindang nan indah yang letaknya
persis di depan purpustakaan pusat MTs. Di samping sebagai kelas out door, Taman Baca itu dapat
difungsikan sebagai tempat membaca apabila di kelas tertentu ada guru
berhalangan. Konsep Taman Baca itu menyatu dengan alam dan lingkungan yang
bersih dan sejuk. Dengan demikian, iklim keterbacaan siswi MTs 1 Putri
Annuqayah akan ikut meningkat.***(Red: Nel/Ish. Rep : Nur/Ja/Lai.)
HIJAU
BISA MENULIS, BUT WHY NOT?
SISWI
tingkat
Tsanawiyah seperti kita, kadang kurang dihiraukan dalam dunia literasi. Hal itu
memang didukung oleh fakta di lapangan, sehingga kita pun sulit menemukan karya
tulis, baik prosa dan puisi ditulis solo, maupun antologi, atau non fiksi.
Cuma, dari sulitnya karya yang ditemukan di toko buku yang ditulis anak-anak
masih hijau itu, kita masih menemukan nama-nama, seperti Abdurrahman Faiz (anak dari Helvy Tiana Rossa), yang telah menulis
buku sejak kelas II SD. Dan buku-bukunya telah puluhan yang terbit.
Gambar 3 : Sebagian karya
Abdurrahman Faiz waktu masih di SD dan SMP
Kami pun terlecut, jika Abdurrahman Faiz
dapat menulis produktif, mengapa tidak untuk kita selaku siswi MTs 1 Putri
Annuqayah? Pasti bisa, asalkan, sebagaimana disinggung oleh bapak Annas, S.Pd.I., “jangan berhenti
melatih, jangan menyerah dengan kesalahan. Segala usaha diawali dengan
kesulitan. Dalam semua kesulitan tersebut kita harus tetap bertahan.
Penulis-penulis besar berawal dari hal-hal kecil seperti menulis di Mading, dan
dari situlah kita bisa menjadi penulis berkualitas.”
Pendapat bapak Annas, S.Pd.I. selaras
dengan ungkapan yang bapak Helmi, S.Ud.,
M.Pd berikan kepada Tim Kajian Utama, waktu beliau diwawancarai (17/8/’17).
Sebagai seorang yang pernah sangat lama bergelut dengan dunia tulis-menulis
waktu mondok di PPA daerah Lubangsa Selatan, pak Helmi, demikian beliau disapa,
berujar “Ingatlah! Surat pertama yang turun adalah surat al-‘Alaq, dan ayat pertama pun diawali dengan kata ‘iqra’ yang berarti bacalah. Dalam surat
ini, kata tersebut diulang dua kali, yaitu ayat 1 dan 2. Memperhatikan hal itu,
tak disangsikan lagi bagaimana kedudukan membaca. Sebab membaca pada akhirnya
akan menjadikan seseorang dapat menulis. Dua hal yang membuat kita berubah, 1)
orang yang kita cinta, dan 2) apa yang kita baca. Mencitai bacaan akan
menyebabkan kita mencintai tulisan. Apa yang kita dapatkan dengan membaca
adalah bahan kita menulis, demikian seterusnya”.
Menurut ibu Ida Royani, S.Pd.I., resep jitu agar kita dapat menulis dengan baik
adalah, pertama, jangan takut untuk mencoba
menulis. Tulis apa saja yang ada dibenak kita, jangan koreksi dulu bahasanya.
Biarkan ide-ide terus mengalir, dan tumpahkan dalam kertas-kertas, baik buku
diary, buku tulis atau di kertas apa saja yang dapat menampung kelebatan
ide-idemu. Kemudian, bacakan di depan teman yang lebih pengalaman menulis.
Suruh kritik, baik segi tata bahasa atau isinya. Dengan kritik atau saran dari
teman kita itu, lama-kelamaan karya kita akan menjadi karya yang berkualitas. Kedua, kirimkan ke media massa, baik
lokal seperti ke majalah Aurora ini, atau ke majalah-majalah lokal yang terbit
di Annuqayah. Bisa juga kata kirimkan ke koran-koran daerah, seperti Radar
Madura, koran Kabar Madura dan sebagainya,. Lalu ke koran nasional. Jika tidak
dimuat, jangan putus asa. Kirimkan terus berapapun jumlah karya kita. Ingat!
Jika karena tak dimuat lalu putus-asa tidak mengirimkan lagi, berarti kita telah
gagal menjadi seorang penulis. Ketiga,
ikutlah event atau lomba kepenulisan. Sama dengan mengirimkan naskah ke media,
jika tak dapat apa-apa dari event atau lomba yang kita ikuti, jangan mundur. Terus
ikut apapun yang terjadi. Biarkan anjing menggonggong, namun kafilah tetap
berlalu.
Sebagai seorang guru Bahasa Indonesia di
MTs 1 Putri Annuqayah, dan sebagai seorang penulis esai, puisi serta cerpen
yang cukup mempuni, Ibu Ida Royani tentu sangat pengalaman akan dunia tulis
menulis di atas,
Untuk menambah motivasi agar kita yang ijo royo-royo ini terus semangat dalam
kepenulisan, bapak Annas, S.Pd.I memberikan penjelasan bahwa proses membaca itu
permulaan dari peradaban yang gemilang. Menulis adalah bagian dari tambatan,
sebab tulisan itu tidak akan punah sampai kapan pun. Tulisan yang dihasilkan
kita akan membantu kepekaan antara si pembaca dengan tulisan yang kita buat.
Menulis akan membuat kita semakin berilmu, sebab kita akan semakin rakus lagi
dalam membaca karya-karya bermutu sebagai referensi tulisan kita agar berbobot.
Lebih lanjut, pak Annas menekankan bahwa
membaca akan membantu kecerdasan kita. Namun, apabila kita masih belum cerdas
walau telah membaca, jangan lantas putus-asa dan memvonis diri kita bodoh.
Barang kali, kita perlu kesabaran ekstra dan perlu meningkatkan diri dalam
keterbacaan itu sendiri.
Apa yang diungkap beliau di atas, memang
perlu menjadi renungan bersama bagi kita yang, sekali lagi, masih dalam tahap
memulai menulis. Kita perlu ingat akan kisah dari Ibnu Hajar al-Asqalani seorang
pengarang kitab-kitab besar dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada waktu
menuntut ilmu di Mesir, Ibnu Hajar dilingkupi perasaan sedih karena merasa
dirinya memang bodoh. Puluhan tahun menuntut ilmu namun ilmu-ilmu yang ia
harapkan tak kunjung ia kuasai. Dalam suasana galau berat, ia pun menyelinap
dari pondok untuk pulang kampung ke Asqalan, Palestina. Akan tetapi, di tengah
jalan, di waktu ia haus dan berteduh, ia menyaksikan keajaiban, yaitu sebuah
batu yang berlubang karena terus-terusan ditetesi air dari puncak gua di mana
ia berteduh. Air dan batu itu adalah ilham baginya, ia berpikir, jika air saja
dapat menembus batu yang keras seperti ini, apakah otak manusia seperti saya
jika terus-menerus dengan sabar diisi dengan ilmu, apakah tetap tidak masuk
pada otak saya? Tidak, pasti Allah SWT akan membuka tabis kebodohan saya, namun
mungkin saya kurang sabar.
Ibnu Hajar pun kembali balik kanan,
yaitu kembali ke Al-Azhar. Benar, dengan ketekunan, kesabaran, tahan banting,
tahan cobaan, tahan lapar dan haus, pada akhirnya Allah SWT membuka tabir
kebodohannya, dan menyingkap kebebalan otak yang dimilikinya. Aura dan Aurora
pengetahuan dapat dikuasainya dengan baik. Ia pun tekun menulis sehingga
melahirkan kitab-kitab babon standar pesantren, seperti kitab Fathul Bari,
Buluhgul Maram, al-Ishobah, Tahdzibul Tahdzib, Duratul Kamilah, Tahliqut
Ta’liq, Inbaul Ghumr, dan sebagainya. Subhanallah.***
(Red: Nel/Ish. Rep : Nur/Ja/Lai.)
Komentar
Posting Komentar