CERPEN SISWA
IBU DAN LIANG LAHAT
Malam. Satu kata yang identik dengan kegelapan, sepi, dan lengang. Untung ada cahaya rembulan begitu indah saat kupandang. Angin menerpa tubuhku perlahan. Namun aku tak peduli. Aku tetap bertahan, meski angin makin terasa dingin dikulitku. Malam memang gelap, tapi ruangan ini lebih gelap menurutku. Aku duduk di kursi sambil mengamati cahaya bundar tanggal 15 yang menerangi atap ruangan ini dan masuk dari sela-sela jendela yang gordennya tersingkap sedikit oleh belaian angin malam. Rumah ini begitu sepi. Hanya aku yang berada di sini. Ingin sekali aku memanggil sebuah nama agar kesepian sedikit terobati. Sudah empat jam ibuku pergi, dia masih belum kembali. Aku merasa khawatir, tapi sayangnya aku tak bisa mencegah ibuku untuk pergi. Aku terlalu lemah. Dan aku menuruti nasibku saja. “Clekkk…,” suara pintu terbuka. “Mama,” ujarku. Aku terkejut melihat ibuku, namun aku sudah terbiasa melihatnya pulang dengan bada n terhuyung-huyung karena mabuk. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah kehadiran paman Rujan yang membimbing ibuku agar tak terjatuh. “Dia pergi ke tempat hiburan lagi. Ini sudah kesekian kalinya, Hazna,” ucap paman Rujan padaku. Aku hanya diam sambil menunduk. Aku memang tidak berdaya melarang ibu untuk pergi. “Pergi kamu. Dasar anak tidak berguna, membawa sial!” racau ibuku. Aku tahan rasa sakit di hati karena ucapan ibuku yang dalam keadaan mabuk berat. Mengapa harus kalimat itu yang ibu ucapkan, bukan kata-kata sayang selayaknya panggilan ibu kepada putri tersayangnya. Biarlah, bukankah ibuku dalam kedaan mabuk, yang antara pikiran dan ucapannya tak nyambung? “Hazna, keluarlah sekarang. Biar ibumu paman yang urus,” ujar paman Rujan tegas. “Pergi, kau!” hardik ibuku menimpali perkataan paman. “Baik, paman, ibu,” Aku menjauh dari ruang gelap itu. Mengapa harus peserti ini? Kuhanya ingin bahagia dan mendapatkan kasih sayang dari ibuku, tanpa kehadiran ayah dan tidak diakui oleh keluarga. Aku benci takdirku. Tapi aku tetap percaya bahwa suatu saat nanti akan berubah. *** “Anak haram. Anak haram…!” Aku tetap memegang tongkat dan terus berjalan meninggalkan mereka yang berteriak dan mengejekku. Aku tak paham mengapa mereka mengatakan demikian. “Anak haram tak pantas untuk hidup,” kata mereka kepadaku. “Hai, kalian. Berhenti!” Mereka secara bersamaan menoleh lalu berhamburan pergi saat ibu Siska, guruku, menghentikan perundungan mereka terhadapku. Hanya guruku itu yang selalu datang melerai di saat anak-anak sebaya mengumpatku. “Kamu tak apa-apa,nak?” Tanya bu Siska sambil mengusap rambutku. Aku pandangi wajah sejuk beliau yang sedikit khawatir jika ada apa-apa denganku. “Saya tidak apa-apa, bu,” jawabku mencoba setenang mungkin, takut bu Siska tambah susah. “Lain kali, kamu hati-hati, nak! Jika kamu mau masuk kelas, jangan lewat di kerumunan mereka. Hindari mereka saja. Ibu kasihan melihatmu menjadi umpatan mereka. Atau jika kau mau, mari bersama ibu saja dalam setiap pulang dan berangkat ke sekolah,” tawar ibu Siska padaku. “Tidak usah, bu. Terima kasih. Insya Allah Hazna dapat menjaga diri,” tolakku dengan halus sebab aku tak ingin menyakiti perasaan ibu guruku ini. Bu Siska tersenyum kemudian memelukku sambil mengelus rambutku yang terurai diterpa angin siang yang sedikit kering. Sungguh, Tuhan! Baru kali ini aku merasakan bahagia luar biasa di dalam pelukan guruku ini. Oh, andai belaian dan pelukan ini dari ibu kandungku, betapa berlipat kebahagianku. Tapi, sekali lagi, hal ini tak perlu aku ratapi. Sebab semua akan berubah pada waktunya nanti. Aku yakin akan takdir perubahan ini. Tuhan maha adil dan maha membolak-balikkan segala sesuatu. Aku pun meyakini perkataan ibu Siska bahwa jika kita bersungguh-sungguh dalam segala hal, maka kita pun nanti akan berhasil karena sebab kesungguhan kita tersebut. Tiada kata lain. Aku akan buktikan bahwa aku bisa! Dan mereka yang saat ini menghinaku akan terperangah atau bahkan akan menangis sebagaimana aku sering dibuat menangis oleh mereka saat ini. Aku tak bermaksud balas dendam atas perundungan pahit ini. Tapi saya yakin bahwa Tuhan tak pernah tidur. Dia akan membalaskan perbuatan pahit ini sesuai dengan rasa keadilan-Nya. *** Cahaya matahari begitu terik. Cahaya kuning itu membuat kulitku tersengat panas karenanya. Aku berjalan dengan tongkatku. Sebentar lagi akan sampai di rumah. Dan hanya tinggal beberapa langkah lagi. Aku duduk di teras dan meletakkan tongkat di sampingku. Rasanya sangat lelah berjalan dari sekolah ke rumah dan dari rumah ke sekolah tiap hari. Sebenarnya, hanya butuh sekitar sepuluh menit berangkat atau pulang ke dan/atau sekolah. Tapi itu berlaku bagi mereka yang normal saja. Sedangkan untukku yang kena penyakit polio sejak kecil, bisa memerlukan waktu sampai tigapuluh sampai empatpuluh menit. Tapi aku tak pernah mengeluh karena keyakinanku bilang bahwa di balik ini akan terselip hikmah yang akan membuahkan hasil, sebagaimana bu Siska sering memotivasiku dalam kesempatan-kesempatan beliau di sekolah. Tiba-tiba tenggorokanku sakit. Dan aku berbatuk berkali-kali. Aku muntah, tapi yang kukeluarkan adalah darah. Aku batuk darah. Aku menjadi takut, takut sekali! Ya Tuhan. Ada apa denganku. Mengapa aku batuk darah? “Ibu, di mana engkau ibu? Hazna sakit, bu,” batinku melihat keadaan ini semakin gawat. Tiba-tiba ibu datang dan tak seperti di hari-hari yang lain, dia tak segalak biasanya. Rupanya dia tertegun melihat muntah darah dari mulutku. Dia iba juga melihat darah dagingnya merasakan sakit. Ibu Siska pernah bilang kepadaku bahwa seburuk-buruknya ibu, dia tak akan tertahan juga jika buah hatinya mengalami rasa sakit. Dan kini, dia datang dengan wajah khawatir. “Hazna, masuk. Ayo masuk! Di luar banyak angin. Nanti tambah parah sakitmu,” kata ibuku sambil membimbingku masuk ke kamar. Waktu tangan-tangan itu membimbing aku masuk, ada aura kekuatan menjalar dari telapaknya, memenuhi sekujur tubuhku. Aura tenaga dan kehangatan kasih yang selama ini tak pernah aku dapatkan. Duh, Tuhan. Apakah memang harus menunggu sakit terlebih dahulu agar cinta kasihnya timbul? Ah, itu hak-Mu, Tuhan. Aku hanya berdoa agar ibuku sebisanya suatu saat mencitaiku selaiknya anak-anak yang lain dicintai oleh ibunya. Itu saja, Tuhan! *** “Aku mau bawa Hazna. Kamu tidak pantas membesarkan anakku,” ujar ayah setelah datang dari tempat yang jauh karena dihubungi paman Rujan perihal sakitku. “Apa katamu? Hazna anakku. Dan aku yang melahirkannya,” ujar ibu lamat-lamat dari dalam kamarku. “Jaga mulutmu, Reva! Jangan sampai aku bertindak kasar terhadapmu!” ujar ayah. Sekarang aku tahu, ternyata nama ibu adalah Reva. Nama yang indah dan cantik, seindah dan secantik ibuku memang. “Kenapa? Kau memang seorang ayah yang tidak bertanggung jawab.” “Plaakkk….” Seperti suara tamparan. Rupanya ayah telah menampar ibu. Aku yang dalam keadaan sakit mencoba bangkit dari tempat tidur. Aku ingin melerai pertengkaran yang tidak berguna ini. Aku ingin tunjukkan bahwa Hazna anak yang kuat. Dan aku ingin pula menunjukkan pembelaan kepada ibuku, sebab selama ini aku hanya melihat ibu. Sedangkan wajah ayah, tak sedikit pun diperlihatkan oleh ibu seperti apa. Apa salahnya aku bela ibu, walau selama ini beliau selalu kasar. Bukankah sejak seminggu lalu, ibuku sudah berubah halus dan penuh kasih sayang? “Om, hentikan kekerasan ini! Tak pantas Om bertindak kasar pada perempuan. Om siapa, sih?” hardikku mencoba menahan sakit di dada. “Oh, anakku. Aku ayahmu,” ujarnya tertekun. “Apa? Hazna sepertinya tak punya ayah,” tukasku tetap dalam keadaan menahan sakit. “Anakku. Kau adalah anakku,” ia berusaha memelukku, namun aku mengelak sambil mendekat kepada ibuku. “Sekali lagi, Om. Hazna tak punya ayah. Ayah Hazna sudah mati. Jangan mengaku-ngaku Om ayah Hazna,” kataku sambil menoleh ke ibuku. Yang kutoleh menunduk tak mengeluarkan kata-kata sedikit pun. “Ingat, Reva. Dia adalah darah dagingku juga. Walau kau berhasil meyakinkan dirinya untuk tidak tahu tentang siapa ayahnya. Suatu saat dia akan butuh aku, Rev. Baiklah! Aku akan pergi. Dan rawat dia baik-baik,” ujar ayah sambil membalikkan badan pergi dari hadapan kami. Setelah cukup jauh, kami masuk kembali ke kamar di mana aku dirawat. *** “Huk…huk…huk…” Batuk yang kuderita semakin parah. Darah terus keluar setiap aku berbatuk. Ibu takut membawa aku ke dokter karena pandemi korona. “Sudah pasti jika kau dirujuk ke rumah sakit, vonis covid-19 akan menyertaimu, anakku,” kata ibuku setiap beliau membersihkan darah dari bibirku. “Huk…huk…hukkk…” Batukku bertambah parah. “Oh, Hazna. Engkau anak mama, sayang,” ujar mama sambil memelukku. Pada batuk yang ketiga kalinya, mataku kabur. Aku seperti memasuki sebuah alam yang belum pernah aku alami. Aku dijemput sebuah kereta emas dengan kuda-kuda terbang yang sayapnya terdiri dari emas pula. Sangat indah. Badanku tak ingat apa-apa, namun sukmaku merasakan bahwa aku masih hidup, setidaknya kini sudah pindah alam. Kuingat ujaran guru cantikku, bu Siska bahwa setelah alam dunia, kita akan masuk ke alam barzah. Apakah ini yang dimaksud alam itu? Kulihat ibuku hanya menangis menguncang tubuhku yang mulai beku. Tampak ibu Siska dan para pelayat sudah berdatangan membesukku. Dan sementar lagi mereka akan memandikanku, mengafani, mensalatkan, lalu menimbunku dalam liang lahat. Tapi aku sudah siap menghadap sang Ilahi.@ Karya : Alifah Windhiyaniputri, Kru majalah Aurora Editor : Putri Reginamaharani
Komentar
Posting Komentar