Resensi
HIKMAH DI BALIK CERITA FABEL
Hayawan adalah binatang yang selamanya tetaplah seperti sediakala. Dia tak pernah berubah menjadi makhluk yang bukan hewan, kecuali perubahan itu hanya ada di dalam teori Evolusi Charles Darwin.
Hewan yang tak dibekali akal-pikiran itu, adalah makhluk yang diciptakan untuk melayani manusia, bukan sebaliknya. Pernah suatu ketika, ada manusia –karena mukjizat- dapat memahami suara-suara binatang. Dan manusia itu adalah nabi Sulaiman AS. Sulaiman-lah yang memahami bahwa binatang pun mempunyai bahasa, dan dialah satu-satunya manusia yang berdialog dengan berbagai macam hewan.
Namun, bukan berarti seseorang yang bukan nabi Sulaiman dilarang, atau tidak boleh mengarang cerita yang bersumber dari dunia binatang. Sebab cerita-cerita itu bagian keseharian kita waktu masih kanak-kanak. Kita masih ingat bagaimana cerita si Kancil yang sangat lihai itu dikisahkan oleh guru SD kita. Dan bahkan sekarang, di salah satu TV nasional tiap hari disuguhkan cerita fabel yang berasal dari Malaysia dengan tajuk “Pada Zaman Dahulu”. Sungguh tontonan ini sangat digemari oleh anak-anak didik kita.
Menurut Lawrence E. Shapiro dalam buku Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, mengatakan bahwa dongeng binatang, cerita atau kisah keluarga dapat membuat seseorang menjadi dirinya sendiri yang berbeda dengan orang lain. Cerita fabel dapat menunjukkan bagaimana seseorang secara nyata memecahkan masalah, sebab dengan mendongeng imajinasi seorang anak dapat tumbuh dengan baik, sekaligus dapat membangun hati nurani.
Chatt and Shaw mengatakan bahwa cerita fabel yang berisi dongeng-dongeng binantang itu, sangat berhubungan dengan kesuksesan anak dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dan keterampilan berpikir logis. Pendapat ini didukung oleh Coles, sambil mengatakan bahwa dongeng meningkatkan daya ingat/kemampuan mengingat kembali pada situasi baru, meningkatkan pemahaman dan semangat belajar. Eagle pun bilang bahwa mendongeng merupakan kegiatan penting sebagai perantara sampai anak dapat memahami cerita dan berpikir logis. Pendapat-pendapat di atas sejalan juga dengan ungkapan Taylor, bahwa cerita fabel merupakan sumber belajar untuk mengembangkan kemampuan seorang anak berpikir kritis.
Paling tidak, ada tiga hikmah di balik cerita fabel yang harus diketahui oleh orang tua agar membiasakan diri dalam berdongeng dengan si buah hatinya. Pertama, dapat memberikan teladan, kedua, dapat membangkitkan motivasi seorang anak, dan ketiga, dapat merangsang berkomunikasi yang baik dengan kemampuan bahasa dan berpikir kritis atas jalan cerita yang ada.
Ketiga macam hikmah demikian inilah yang kental di dalam buku ‘ Hikayat Kalilah Dan Dimnah’. Hikayat yang disusun dari cerita fabel India oleh Ibn al-Muqaffa sangat terkenal di penjuru dunia, baik Barat maupun Timur. Kisah-kisah yang ada benar-benar inspiratif sehingga selama ribuan tahun buku ini terus bertahan dan dibaca oleh semua kalangan.
Di India, kisah ini ditulis seorang filsuf kerajaan Harsha yang bernama Bedaba, dan dipersembahkan kepada rajanya bernama Raja Debsyalem. Karena sangat terkenal, kaisar Persia pun yang bernama Kisra Anu Syirwan berkeingan untuk membaca dongeng dahsyat tersebut. Dia mengutus seorang dokter kerajaan bernama Barzaweh untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Persia (hlm. 9). Dari kitab berbahasa Persia itu, sang sastrawan awal dunia Arab, yang juga seorang Muslim Persia, bernama Abdullah ibn al-Muqaffa’ menerjemahkannya ke bahasa Arab. Dari manuskrip berbahasa Arab itulah kisah fabel Kalilah dan Dimnah disalin ke berbagai bahasa dunia hingga menjadi bacaan fabel utama bagi anak-anak dunia.
Buku yang ada dihadapan peresensi ini pun adalah salinan dari naskah berbahasa Inggris dengan judul Kalila and Dimna, or the Fables of Bidpai terbitan Oxford 1819, dan merupkan buku kedua yang peresensi baca. Sebelumnya, peresensi baca dalam edisi Indonesia terbitan Balai Pustaka cetakan 16 tahun 1984 yang berhalaman tipis karena terjadi pemotongan-pemotongan cerita. Namun edisi Indonesia yang ada sekarang, yaitu terbitan Diva Press adalah salinan utuh dari edisi Inggris di atas, sehingga cerita-cerita di dalamnya lebih lengkap daripada edisi Indonesia pertama terbitan BP tersebut.
Buku edisi Indonesia terbaru ini oleh Diva Press dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, merupakan pendahuluan kisah yang dihantarkan oleh ibn Muqaffa’ sebagai ‘Tujuan Penulisan Buku ini’, kemudian dihantarkan oleh Ali bin syah al-Farisi sebagai ‘Sejarah Kisah-Kisah ini Disusun’, dan hantaran oleh Buzurjamhar bin al-Bakhtan sebagai ‘Sejarah Hidup Barzaweh’ (hlm. 13-89).
Bagian kedua adalah isi yang terdiri dari 15 kisah, antara lain: kisah kera dan kura-kura; kisah ahli ibadah dan musang; kisah ahli ibadah dan tamunya; kisah pelancong, tukang emas, kera, ular dan macan tutul; kisah merpati, musang, dan bangau; kisah singa dan sapi; kisah pengadilan Dimnah; kisah singa betina, pemanah ulung dan anjing hutan; kisah Elada, Belada, dan Erakhta; kisah putra raja dan sahabat-sahabatnya; kisah burung hatun dan burung gagak; kisah tikus dan kucing; kisah raja Baridun dan burung Fanzah; kisah ratu merpati dan gagak; dan terakhir, kisah singa dan serigala.
Pembaca pemula harus mengurut pembacaannya, sebab akan lebih bermanfaat jika dibaca secara urut dari bagian pertama sampai terakhir. Dengan demikian, harapan yang disampaikan ibn Muqaffa’ sebagai penyalin pertama ke bahasa Arab akan dapat pembaca peroleh. Sebab, kata al-Muqaffa’, jika pembaca secara lahir dan batin tidak memahami maksud dan isi kandungan buku ini, maka tulisan dan susunan bahasanya sama sekali tidaklah mendatangkan faedah baginya sebagaimana seorang yang diberi buah kelapa yang belum dikupas. Buah kelapa itu tak berguna baginya sampai dia mengupasnya.
Akhirnya, semoga buku fabel ini bermanfaat buat anak-anak didik dan buah hati kita. Wallahu A’lam@
Komentar
Posting Komentar