Cerpen
KEJUANGAN SANG PANGERAN
Jumat Legi, 20 Sappar
1071 H/12 April 1649 M
Malam telah larut. Di bilik sederhana dalam lingkungan kraton itu
hanya tinggal dua sosok manusia berbincang perihal kelahiran anaknya
dua jam lalu. Yang lainnya, ayah kedua orang itu telah pulang ke rumah
masing-masing yang berjarak sekitar satu kilo meter. Mereka berdua
membincangkan tentang nama sang anak. Mau diberi nama siapa gerangan. Mereka
berdua ragu. Masih ada hari esok untuk mendapatkan nama sesuai dengan
harapan mereka, sebab nama adalah do’a.
“Kakanda, anak kita sangat tampan, ya,” ujar Raden Ayu Minisari, sang istri
pada suaminya yang sejak tadi memperhatikan orok yang baru mampir ke dunia
ini.
“Benar, adinda. Anak kita walaupun laki-laki tapi sepertinya sangat
rupawan. Semoga ketampanannya menjadi perlambang bahwa batin dan hatinya
juga rupawan,” ujar Panembahan Maluyo Kusumo, sang suami menimpali
percakapan istrinya.
“Kalau adinda perhatikan, bayi ini sangat mirip dengan neneknya, Raden Ayu
Banasari, ibu adinda. Beliau adalah keturunan langsung dari Putri Kraton
Sumenep”.
Besok harinya, sang suami minta izin pada sang istri untuk pergi ke guru
ngajinya di desa sebelah, di luar kraton Plered. Kepergian itu untuk
minta restu dan berkah akan nama bayi yang baru dilahirkan. Sang guru ngaji
memberi nama Nila Prawoto. Kebiasaan meminta nama dari guru alif, sebutan
lain dari guru ngaji, adalah tabiat orang-orang Madura sejak pertama kali
mengenal agama Islam. Sampai kini pun, kebiasaan tersebut tetap lestari.
Orang Madura beranggapan bahwa dengan meminta nama pada kiai akan memberkati
seorang anak kelak apabila telah dewasa.
Namun oleh kakeknya, nama tersebut diganti menjadi Trunojoyo. Sultan Agung
menginginkan agar cucunya nanti akan menjadi ‘Taruna yang senantiasa jaya’.
Rupanya, nama terakhir tersebut yang paling terkenal.
Nila Prawoto alias Trunojoyo tumbuh menjadi seorang anak yang tangkas,
disiplin dan berwatak baik. Bersama sang kakek, ia sangat akrab dalam
balutan keluarga kraton. Lingkungan Kraton Plered, pusat Kesultanan Mataram
adalah lingkungan yang dipenuhi oleh berbagai kegiatan, baik politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Di samping itu, tempat ini menjadi pusat
kerajaan Islam terkuat di tanah Jawa dan menjadi poros utama dakwah Islam.
Wajar sekali apabila di tempat ini bercokol ulama-ulama besar nusantara,
atau bahkan ulama-ulama dari tanah seberang, semisal Arab, Persia atau
Gujarat. Dalam nuansa keagamaan yang kental itulah, Nila Prawoto tumbuh
berkembang.
***
17 Agustus 1652 M
“Anakku, engkau telah besar. Saatnya engkau harus bertambah wawasan tentang
agama kita. Ayahanda ingin kau mondok di Padepokan Sunan Giri, Gresik Kau
harus menyerap ilmu agama dari pondok peninggalan Sunan Giri itu.” kata
Maluyo Kusumo suatu ketika di kraton Plered.
“Baik, ayahanda. Apapun yang ayahanda titahkan kepada ananda, akan ananda
ikuti. Jangankan hanya di Padepokan Sunan Giri, ke tanah Arab pun perintah
ayah akan ananda ikuti.” Jawab Nila Prawoto dengan mantap, tanpa keraguan
sedikitpun.
“Baiklah, anakku. Besok pagi engkau harus segera berangkat.”
“Daulat, ayahanda. Ananda siap!”
Umur 12 tahun Pangeran Trunojoyo mondok di Padepokan Sunan Giri. Dia
menuntut ilmu di pondok pesantren tertua di nusantara tersebut selama enam
tahun. Sampai suatu ketika sang kakek, Sultan Agung Hanyokrokusumo wafat.
Mendapat kabar kewafatan sang kakek yang sangat cinta padanya, ia menjadi
amat gelisah. Sunan Prapen, sebagai ulama pengganti Sunan Giri yang mengasuh
Padepokan tersebut ikut terkejut atas kewafatan seorang Sultan yang amat
perkasa, adil, alim, bijaksana dan tegas melawan VOC yang hendak menjajah
tanah Jawa atau nusantara umumnya. Sultan inilah yang terlibat perang
melawan VOC sebanyak dua kali. Dan kini telah wafat.
“Kiai, hamba hendak pamitan. Hamba mau pulang ke Mataram, sebab kakek hamba
telah wafat sekitar tiga hari lalu.” Nila Prawoto berpamitan kepada pengasuh
pondok Padepokan Sunan Giri sambil disertai deraian air mata.
“Baiklah, anakku. Engkau segera pulang ke Mataram. Tanah Jawa sekarang
sedang berduka karena telah kehilangan seorang pemimpin yang bijak bestari,”
jelas Sunan Prapen, “Sungguh, gulungan awan hitam sejak tiga hari lalu
adalah bahasa alam yang turut berduka atas wafatnya seorang pemimpin yang
saleh, adil, dan pengayom terhadap rakyatnya.” Sunan Prapen berkata sambil
menyeka air matanya yang tidak bisa ditahan lagi.
***
28 Juli 1658 M
Dalam perjalanan dari Gresik ke Plered di tempuh empat hari naik kuda.
Jalanan dipenuhi hutan rimba dan persawahan penduduk, sebagaimana setting
alam abad XVII. Sesampai di kota Mataram Nila Prawoto langsung disambut
Amangkurat I. Rupanya telah terjadi suksesi kekuaaan dari Sultan Agung pada
anaknya, Amangkurat I. Beliau dalam hubungan kekeluargaan dengan Trunojoyo
adalah paman.
Pada mulanya, Nila Prawoto sangat menghormati Amangkurat I sebagai pewaris
sah tahta Kesultanan Mataram. Ia menjadi tangan kanan sang pamandanya dalam
menjalankan roda pemerintahan. Namun, Amangkurat I mulai menampakkan tabiat
jelek dalam menjalankan pemerintahan. Nila Prawoto melihat pamandanya
tersebut mulai tidak hirau akan nasehat para ulama. Bahkan melalui
intriknya, banyak ulama, baik yang tinggal di kraton ataupun di desa-desa,
ditangkapi gara-gara hanya kurang sependapat dengan Suhunan perihal hubungan
dengan VOC, kurang sepakat dengan maraknya tindak kemaksiatan dalam kraton,
seperti minuman khamr, dansa-dansa ala Eropa, judi dan main wanita.
Puncak kebrutalan Amangkurat I ialah kejadian adu-domba antar keluarga
kraton sampai-sampai mengorbankan orang-orang terdekat Nila Prawoto.
Pembunuhan pada kedua orang tuanya telah mengguncang jiwanya, sehingga hidup
dalam kraton Plered sudah tak ada gunanya. Bahkan ia merasa, bahwa intrik
keluarga kraton itu sendiri diciptakan Amangkurat I untuk menghabisi semua
pejuang yang pernah mendukung Sultan Agung dalam pengusiran VOC dari
Batavia. Berarti jiwanya menjadi terancam juga.
Sebelum terlambat, ia pun menghilang dari Mataram. Rupanya yang ia tuju
adalah pondok pesantren Panembahan Rama di Kajoran. Panembahan Rama
merupakan seorang ulama berpengaruh yang masih mempunyai hubungan
kekerabatan dengan Mataram. Panembahan Rama juga sepupu dari istri
Cakraningrat I, berarti secara kekeluargaan beliau adalah kakek dari Nila
Prawoto.
“Assalamu’alaikum,
kiai Rama,” sapa Nila Prawoto setelah sampai di pelataran pondok pesantren
yang cukup luas itu.
“Wa’alaikum salam.
Siapa kisanak?” Rupanya, Panembahan Rama tidak mengenali tamu siapa yang
datang. Wajar saja, sebab memang belum tahu sama sekali akan anak muda itu.
Pada masa Sultan Agung masih hidup, waktu beliau masih sering berkunjung ke
Mataram, yang ia temui adalah Maluyo Kusumo. Nila Prawoto mungkin masih
kecil. Kini, yang berdiri di hadapannya sesosok pemuda tampan namun ada
kemiripan dengan Maluyo. “tunggu, nak! Kamu siapa-nya Maluyo?”
“Saya putranya, kiai.”
“Masya Allah. Kau rupanya telah dewasa, nak. Mari masuk.”
“Terima kasih, kiai.” sambil mencium tangan Panembahan Rama, Nila Prawoto
alias Trunojoyo mengikuti langkah tegap sosok kiai yang telah sepuh itu. Ia
langsung menuju dhalem
pribadi Panembahan Rama.
“Siapa namamu, nak?”
“Nila Prawoto, kiai. Namun oleh kakek Sultan Agung, nama itu diganti dengan
Trunojoyo.”
“Wah, rupanya nama pemberian Sultan akan menjadi nama kesohormu pada masa
yang akan datang.”
“Maksud kiai?”
“Iya, nak. Kiai melihat dengan mata batin bahwa engkau akan menjadi manusia
yang digugu dan ditiru. Tidak saja oleh orang-orang Madura, namun siapapun
yang akan melihatmu. Bagaimana kabar orang tuamu?”
Pernyataan dan pertanyaan Panembahan Rama terakhir membuatnya terdiam.
Benarkah ucapan orang saleh di depannya itu akan menjadi kenyataan. Hanya
Allah yang Maha Tahu dan orang-orang yang diberi karamah oleh-Nya. Dan
haruskah Nila Prawoto berterus terang perihal nasib tragis orang
tuanya?
“Mengapa terdiam, nak? Bagaimana kabar orang tuamu? Oh, ya, nak. Apakah kau
belum punya istri?”
“Mengapa kiai Rama tanya seperti itu?”
“Ah, sudahlah, ananda Trunojayo. Jangan kau ambil ucapan kiai barusan.
Lebih baik kau istirahat dulu. Besok perbincangan kita lanjutkan. Kau
istirahat di kamar pondok sebelah utara itu. Di situ tidak ada
penghuninya.”
“Baik, kiai. Ayahanda dan ibunda tewas dalam pertempuran memadamkan
pemberontakan Pangeran Alit, yang masih saudara ayahanda”
“Tewas? Innalillah wa innailaihi roji’un. Apakah kau tahu kisah semestinya, nak?”
“Hamba tidak tahu, kiai! Hanya itu saja yang hamba ketahui”
“Baiklah, nak. Kiai akan mencari tahu mengapa setelah meninggalnya sang
Sultan Agung Hanyokrokusumo, Mataram semakin kurang tenteram. Ini mungkin
terkait dengan perilaku dan watak Amangkurat I yang kurang menghargai
sendi-sendi agama Islam, dan kebiasaannya berbuat maksiat. Kau istirahat
dulu. Besok perbincangan ini kita lanjutkan.”
“Selamat beristirahat, kiai.”
Sampai di kamar gedek terbuat dari bambu duri itu, Trunojoyo masih belum
memejamkan mata walau sebenarnya sangat payah dari perjalanan cukup jauh,
Plered-Kajoran, dua hari dua malam berjalan kaki. Namun, kata-kata kiai Rama
terakhir bikin otaknya tidak bisa diajak tidur. Mengapa beliau bertanya
tentang; apa sudah menikah atau belum. Ada apa gerangan ini? Biarlah waktu
saja yang menjawabnya. Yang jelas, beliau yang telah sepuh, kelihatan sekali
ada maksud terpendam dari pertanyaan tadi.
Nila Prawoto akhirnya tertidur juga. Dalam tidurnya ia bermimpi tentang
nasib tragis ayahanda dan ibundanya yang tewas di kota Mataram. Dalam mimpi
itu digambarkan bahwa terbunuhnya kedua orang tuanya karena dibunuh oleh
tentara bayaran. Namun tak digambarkan siapa yang membayar pembunuh bayaran
itu.
Besok paginya, mimpi tersebut ia hantarkan ke haribaan Panembahan Rama.
Sang Panembahan mulai bisa menafsir siapa gerangan pembunuh sebenarnya dari
orang tua Nila Prawoto. Kiai Kajoran menerka bahwa biang keladi intrik dalam
kraton Plered tak lain dan tak bukan, adalah Amangkurat I itu sendiri. Mimpi
itu dipertegas dari informasi seorang tamu yang diutus oleh Amangkurat II
atau Adipati Anom menghadap pada kiai Rama dua hari setelah kedatangan
Trunojoyo. Utusan itu meminta agar kiai Rama ikut bersikap atas kekisruhan
kraton. Kalau perlu melawan Amangkurat I yang semena-mena tersebut. Namun
kiai Rama tidak setuju jika ia sendiri yang harus melawan Amangkurat I.
Bagaimana pun Amangkurat I masih anak dari Sultan Agung.
Namun, jika yang mengajak adalah Amangkurat II, putra Amangkurat I dan
sekaligus cucu Sultan Agung, berarti Mataram benar-benar dalam keadaan
bahaya. Ini harus diselesaikan dengan cepat melibatkan segenap komponen
Kesultanan Mataram. Kiai Rama ingat kembali pada anak muda yang ada di
pondoknya sekarang.
“Nak Trunojoyo.” sapa kiai Rama beberapa bulan setelah Trunojoyo tinggal di
Kajoran.
“Baik, kiai.”
“Silakan duduk, anakku.” Trunojoyo duduk di kamar pribadi panembahan Rama.
Sekilas ia memperhatikan isi kamar itu, penuh dengan kitab. Tak ada
aksesoris lainnya. Kamudian kiai Rama melanjutkan, “kau telah dewasa dan
sepertinya kau harus cepat mecari pendamping untuk melanjutkan perjuanganmu
menegakkan agama Islam dan kewibawaan kaum muslimin. Kiai punya anak gadis
yang telah cukup berumur. Insya Allah kau akan setuju.”
“Ananda akan setuju apapun yang kiai perintahkan.”
“Bagus. Kau memang anak yang saleh. Persis ayahandamu dan ibundamu. Mereka
orang-orang yang saleh dan salehah. Pernikahan kamu akan segera dilangsung
dalam minggu ini.”
Pernikahan antara Trunnojoyo dan Raden Ajeng Roro Pangestu dilangsungkan
dengan cukup sederhana. Mereka yang hadir adalah para santri dan masyarakat
sekitar pondok pesantren Kajoran. Pasangan sejoli tersebut tidak lama
menetap di Kajoran. Panembahan Rama memerintahkan agar pasangan itu segera
barangkat ke Madura sebab Madura telah dilanda krisis kepemimpinan.
Informasi yang didengar oleh Kiai Rama, Cakraningrat II sebagai pengganti
Cakraningrat I bertindak seperti tindakan Amangkurat I di Mataram. Sungguh
nasib rakyat Madura sangat merana.
Dapat kabar demikian dari sang mertua, Trunojoyo dan Pangestu terlecut
untuk segera berangkat. Dengan beberapa pengiring, Trunojoyo pulang ke
Madura. Sesampainya di Delta Ampel, mereka mampir di makam Sunan Ampel.
Benar apa yang telah dikatakan mertuanya, keadaan rakyat Madura di Delta
Ampel sungguh menderita. Kekurangan pangan telah mereka saksikan sejak
memasuki Surabaya. Mereka yakin kondisi tanah Madura akan lebih menderita
lagi.
Sesampainya di Kamal, mereka tertekun menyaksikan masyarakat telah
menyambut kedatangan Trunojoyo beserta rombongannya. Mereka dielu-elukan
sepanjang jalan antara Kamal ke Bangkalan. Namun, rombongan dari Kajoran
tersebut tidak menuju ke Bangkalan, di mana Cakraningrat II memerintah
sebagai vassal Mataram. Rombongan itu munuju Arosbaya, tempat buyutnya
dahulu dikalahkan oleh tentara Mataram di bawah pimpinan Kiai Juru Kiting.
Kemudian, melanjutkan perjalanan ke Sumenep, asal nenek dari ibunya
berada.
***
13 Maret 1670 M
“Paman Macan Wulung, sebagai Panembahan Sumenep, apakah paman masih
enak di bawah vassal Mataram yang tirani?” demikian lontaran kata Trunojoyo
sesaat setelah tiba di kraton Sumenep. Jelas sekali, pertanyaan itu hanya
sebatas basi-basi sebab diketahui umum bahwa rakyat Sumenep pun kena imbas
sebagai bawahan Mataram yang diperintah oleh orang korup dan bersekutu
dengan VOC.
“Anakku, Trunojoyo. Engkau pasti telah memahami bagaimana nasib rakyat
Sumenep di bawah bayang-bayang penjajahan dan kekejaman Mataram. Sampai
kapan pun pamanda tidak terima atas kondisi seperti ini.”
“Baiklah, paman. Kalau demikian, mari kita bentuk Laskar Madura terlatih
yang siap bertempur melawan Cakraningrat II, Amangkurat I dan sekaligus
VOC.”
“Mari, anakku. Pamanda siap ada di sampingmu. Kaulah ‘Imam Mahdi’ yang kami
tunggu itu. Kaulah penyelamat rakyat Madura yang sedang menderita.”
Pembentukan Laskar Maura yang tangguh tak membutuhkan waktu lama.
Panembahan Macan Wulung, sebagai pemimpin Sumenep yang alim dan berwibawa,
memerintahkan langsung pada para ulama di Sumenep dan Pamekasan agar melatih
para santrinya dengan bela diri untuk diterjunkan dalam peperangan Jihad Fi Sabilillah. Sementara Panembahan Arosbaya, juga memerintahkan para ulama di Sampang
dan Bangkalan untuk memobilisasi pasukan rakyat yang tangguh.
Laskar Rakyat Madura dari Bangkalan, Sampang dan Pamekasan mengalir deras
ke Sumenep. Mereka masih muda-muda, antara 17 sampai 30 tahun. Sangat cocok
dengan keinginan Trunojoyo untuk membikin pasukan yang tangguh. Mereka
digembleng dengan latihan fisik dan latihan rohani. Bekal keimanan pada
Allah sebagai jalan perjuangan dimantapkan oleh komandan-komandan lapangan
yang semuanya diambil dari kalangan ulama, bentukan Panembahan Macan Wulung.
Sekarang, terbentuklah sebuah pasukan tangguh sebanyak 20.000 tentara
darat.
Sementara itu, Trunojoyo juga berhubungan dengan Karaeng Galesong secara
intens dan mendalam. Dia seorang bekas Laksamana Kesultanan Gowa-Tallo yang
setelah ditaklukan VOC mengadakan perang laut. Pasukan laut Makasar itu
berpusat di Demung, Besuki Situbondo. Pasukan laut ini sangat ditakuti oleh
Angkatan Laut VOC sebab mereka terkenal pemberani, pantang mundur. Sekali
mereka terjun di medan pertempuran, maka hanya ada dua kemungkinan, yaitu
pemenang atau mati syahid sama sekali.
“Pangeran Trunojoyo, kami siap bertempur mendukung kamu. Kami adalah
pejuang sejati bersama Sultan Hasanuddin. Kami tidak pernah kalah atau
menyerah pada begundal VOC itu. Hanya pengkhianatannyalah yang menyebabkan
kami terusir dari Makasar.” Terang Karaeng Galesong suatu waktu menerima
Trunojoyo di desa Demung.
Dukungan laut dari Angkatan Laut Makasar telah menyebabkan bertambah kokoh
pasukan Trunojoyo. Di samping dapat dukungan dari orang-orang Makasar,
pasukan Madura ini pun mendapat dukungan dari ribuan pasukan Mataram di
bawah komando Amangkurat II. Pasukan ini dikirimkan secara rahasia mengikuti
jejak pasukan Madura guna menghancurkan kekuatan pasukan Amangkurat I yang
telah bersekutu dengan VOC.
Aliansi pasukan, yaitu Madura, Bugis, Surabaya, Panembahan Giri, dan
tentara Amangkurat II telah siap menghadapi pasukan besar Mataram. Sebagai
permulaan gerakan, Laskar Madura menculik Cakraningrat II di Bangkalan.
Penculikan ini sebagai isyarat bahwa Madura bukan lagi vassal Mataram.
Madura telah merdeka dengan sebenarnya. Cakraningrat I diasingkan ke desa
Lodaya, Kediri. Kediri adalah pusat komando Laskar Madura. Sejak tahun 1674
seluruh Madura tunduk kepada pimpinan Trunojoyo. Sejak itu, ia dijuluki atau
diberi gelar dengan sebutan ‘Panembahan Maduretno’, artinya penguasa seluruh
Madura.
Pasukan Madura terus merangset kekuasaan Mataram satu demi satu. Pada
tanggal 13 Oktober 1676 dua pasukan besar bertemu di desa Gegodok. Pasukan
Mataram di bawah pimpinan Adipati Anom hancur-lebur. Bahkan pertempuran itu
mengorbankan pimpinan pasukan kavaleri Mataram, yaitu Pangeran Purboyo.
Kekalahan itu telah mengambrukkan sendi-sendi kekuasaan Amangkurat I yang
memang sedang lemah. Praktis sekarang Mataram dalam rengkuhan Panembahan
Maduretno.
Kehancuran Mataram berarti ambang kehancuran VOC juga. Oleh karena itu,
Mataram sebagai sekutu VOC tak boleh hancur secepat itu. Pada tanggal 29
Desember 1676, Batavia kemudian mengutus Jenderal Cornelis Speelman sebagai
pimpinan pasukan VOC berkekuatan 1.900 tentara, berangkat dengan 5 kapal
perang menuju Surabaya.
“Pangeran! Dari informasi teleksandi, kekuatan VOC telah berangkat dari
Batavia menuju Surabaya.” ujar Karaeng Galesong.
“Alhamdulillah, tuan. Berarti tujuan kita betempur telah dikabulkan Allah SWT. Kita
sebenarnya tidak mau berperang dengan sesama muslim, seperti melawan tentara
Mataram itu. Dengan bantuan dari tentara kafir Belanda, berarti tak ada
keraguan lagi, tuan, bahwa kita memang bertujuan mengusir penjajahan dari
bumi aulia’
ini.” terang Panembahan Maduretno pada Karaeng Galesong, penasehat
militernya itu.
“Cuma Pengeran. Berdasarkan pengalaman pasukan Makasar yang lebih sepuluh
tahun bertempur dengan VOC, kelemahan dari pihak kita adalah pengkhiatan
dari dalam dan perimbangan persenjataan.”
“Benar, tuan. Pengkhiatan sesama pejuang kita-lah yang bikin rapuh kekuatan
perjuangan. Memang saya sadari hal ini, terutama pada pasukan Mataram yang
dikirim putra mahkota Amangkurat II. Walau saya lihat dari dekat, pasukan
tersebut masih menunjukkan kesetiaan dengan cara bertempur habis-habisan,
namun bisa saja apabila ada instruksi lebih lanjut dari Mataram, pasukan itu
akan disersi dari kesatuan kita. Tapi, semoga mereka sadar bahwa lawan kita
bukan sesama muslim, tapi VOC itulah lawan sebenarnya. Saya lebih khawatir
tentang persenjataan kita. VOC mempunyai senjata modern, dalam pasukan kita,
kita hanya punya senjata tradisional. Namun, dengan kekuatan jihad fi sabililah,
mudah-mudahan Allah memberi kemenangan pada kita. Allahu Akbar!” demikian Panembahan Maduretno berkata panjang-lebar.
Pasukan VOC mendarat di Tanjung Perak tanggal 2 Januari 1677. Pasukan ini
sangaja menyerang pasukan PangeranTrunojoyo dari belakang. Namun, walaupun
Surabaya tidak bisa dipertahankan oleh pasukan Trunojoyo di bawah pimpinan
Panembahan Macan Wulung, pasukan Trunojoyo di Kediri sedikitpun tak
terganggu. Cornelis Speelman terus bergerak ke Bangkalan, dengan mudah
Bangkalan diduduki. Separuh pasukannya melanjutkan invasi ke Madura Timur.
Dan dengan mudah tak ada perlawan dari pasukan cadangan Pangeran Trunojoyo.
Speelman menduga, dengan dikuasainya pulau Madura sebagai pensuplai pasukan
cadangan dan makanan, maka pasukan yang ada di pusat komando Kediri akan
lemah. Anggapan ini salah, sebab suplai tentara pejuang dan bekal makanan
bukan hanya dari Madura, tapi dari seantero Tapal Kuda Jawa Timur dan
Makasar. Makanya, kekuatan pasukan Pangeran Trunojoyo tetap kokoh dan
dahsyat.
“Paman Macan Wulung,” suatu waktu setelah sampai di Kediri dalam kekalahan
di Surabaya, ”biarkanlah Surabaya dan Madura takluk, tapi rencana besar kita
harus sesuai dengan keinginan kita bersama, yaitu menaklukan Plered.”
“Baik, ananda Pangeran. Dengan ditaklukannya pusat Mataram berarti kekuatan
penindas rakyat Madura dan Jawa akan sirna. Dan kita tinggal konsentrasi
pada kekuatan VOC.”
“Kira-kira, berapa kekuatan kita sekarang setelah Surabaya dan Madura
takluk ke VOC?”
“Ananda Panembahan Trunojoyo. Kekuatan kita malah bertambah berkat
bergabungnya Laskar Malang, Nganjuk, dan Kediri. Kita mempunyai 3.000
pasukan kaveleri, 30.000 pasukan invanteri, 2.000 pasukan zeni, 200 pasukan
teleksandi, dan 500 pasukan kesehatan. Di Gresik, terdapat 5.000 pasukan
cadangan yang senantiasa siap bergabung ke pasukan inti di sini.”
“Terima kasih, pamanda Panembahan Macan Wulung,”
“Sama-sama, ananda.”
***
Bertepatan dengan hari Jumat Kliwon, tanggal 10 Robiul Akhir, tahun 1556
Saka, atau 1674 Masehi, atau 1095 Hijriah, pasukan Trunojoyo berangkat dari
pusat pertahanan Kediri menuju arah barat, pusat kota Mataram, Plered.
Pasukan Trunojoyo membutuhkan waktu dua tahun untuk purna sepenuhnya
menguasai ibukota Mataram. Tahun 1676 pasukan Trunojoyo berhasil menguasai
ibu kota terkuat tanah Jawa pada masa Sultan Agung. Namun sekarang kota
tersebut telah lemah, pasukan Amangkurat I morat-marit penuh kelaparan.
Pasukan Mataram yang ditakuti di masa Sultan Agung sehingga berani menyerang
pusat VOC di Batavia, namun di masa Amangkurat I, semuanya hilang tanpa
bekas.
Di masa Sultan Agung berhasil mengislam almanak tahun Saka, sehingga nuansa
Hijriah nampak, masjid-masjid banyak didirikan, madrasah-madrasah banyak
dibangun, ulama-ulama berdatangan hilir-mudik ke Plered. Namun, setelah
tampuk kekuasaan dipegang Amangkurat I, nuansa keislaman tersebut hilang.
Kini berganti dengan budaya-budaya Eropa ala VOC; kebiasaan mabuk, judi,
dansa, dan main perempuan. Inilah yang menyebabkan ibu kota Plered dengan
mudah dapat ditaklukan.
“Pamanda, Macan Wulung. Sejak kita memasuki kota ini, kemana Amangkurat I
dan Pengeran Anom?” tanya Trunojoyo kepada penasehatnya itu.
“Dari informasi teleksandi yang saya sebarkan, Suhunan Amangkurat I telah
lari ke arah barat sebelum kota ini jatuh pada kita,”terang sang paman,
”sepertinya, ia akan minta bantuan ke Batavia. Namun, saya juga mendengar
kabar bahwa ia telah wafat di tengah jalan, dan dimakamkan di
Tegalwangi,”
“Innalillahi…, semoga Suhunan Amangkurat I tetap menjadi muslim yang khusnul khatimah. Bagitulah akhir dari seorang keturunan orang besar. Sejarah akan mencatat
bagaimana akhir dari orang-orang yang kemudian bekerja sama dengan musuh.
Biarkanlah sejarah yang menilainya, apakah ia pahlawan atau pecundang,”
kata-kata Trunojoyo sangat mendalam dan berkesan. Lalu ia meneruskan,
“Pamanda, apakah Pengeran Anom lari bersamanya?” tanyanya lebih
lanjut.
“Dari informasi teleksandi, Amangkurat II tidak ada dalam barisan pelarian
Amangkurat I. Konon ia memindahkan pusat kerajaan Mataram ini dari Plered ke
Kertasura.”
“Baik, paman. Biarkanlah Pangeran Anom mengalihkan pemerintahan Mataram ini
ke manapun. Yang jelas, jika masih bersekutu dengan VOC sampai kapanpun
pemerintahannya akan kerdil, dan dicatat dalam sejarah sebagai orang yang
berdiri dalam ketiak penjajah. Dan itu tak akan terhormat. Mari kita kembali
ke Kediri. Tujuan kita menumbangkan kekuasaan tirani telah berhasil. Kita
konsentrasi pada VOC. Mereka teramat kuat dengan senjata yang sangat
canggih”
Panembahan Maduretno dengan semua pasukannya kembali ke Kediri. Mereka
membiarkan apa-apa yang terdapat dalam istana Plered. Tak sedikitpun pasukan
Laskar Madura dan sekutunya menjarah harta dari Amangkurat I yang tersisa,
seperti mahkota kerajaan Majapahit, beras, kuda, sapi, dan lainnya. Memang,
tujuan penyerbuan Laskar Madura dan sekutunya bukan hendak menghancurkan
kraton Pleret dan menjarahnya, bukan! Penyerbuan dilakukan karena
pemerintahan Amangkurat I telah melenceng dari garis-garis yang dititahkan
oleh Sultan Agung.
Dan penyerbuan Trunojoyo bukan demi kekuasaan semata. Hal ini terbukti dari
tindakan beliau sesaat setelah memasuki kraton Plered. Ia teringat masa-masa
kecil bersama sang kakek, Sultan Agung yang taat beribadah. Ia teringat
bagaimana ia bermain dengan Amangkurat I, dan Pangeran Anom serta Pangeran
Alit. Masa kecil itu semua membayang di benak Trunojoyo. Ia bersimpuh dan
menangis di pendopo istana yang megah itu. Ia pandangi semua isi dari istana
yang sebagian dibawa kabur ke Tegalwangi dan Kertasura. Namun, mahkota
kerajaan tetap barada di tempatnya. Andai saja, Trunojoyo menyerbu Plered
hanya demi kekuasaan semata, maka mahkota kerajaan itu akan ia bawa ke
Kediri, sebagai perlambang bahwa tanah Jawa telah jatuh ke tangannya.
***
Benar saja dugaan Trunojoyo. Setelah meninggalnya Amangkurat I, Pangeran
Anom mengadakan perjanjian dengan VOC pada tanggal 12 September 1677 yang
isinya; Amangkurat II harus menyerahkan pesisir utara pulau Jawa pada VOC
jika pasukan Kompeni dapat mengalahkan Laskar Madura.
Perjanjian di atas telah membuat VOC bertambah semangat dalam
berperang melawan Trunojoyo. Berbagai kekuatan VOC susun dengan rapi,
termasuk mengerahkan tentara bayaran dari Bugis di bawah pimpinan Aru
Palaka. Aru Palaka adalah sekutu VOC dari Bone dalam perang Makasar. Namun,
kekuatan pasukan Trunojoyo tak tereduksi dengan adanya gempuran tambahan VOC
ini. Akan tetapi, setelah Semarang jatuh dan Speelman membangun benteng di
bukit Danureja, jalan penyerbuan pasukan VOC dari arah barat menuju Kediri
mulai terbuka.
Perang besar di selat Madura antara Karaeng Galesong dengan Aru Palaka tak
terhindarkan. Perang ini dimenangkan Aru Palaka. Setelah kekuatan laut
pasukan sekutu Trunojoyo lemah, suplai makanan dari Makasar mulai tersendat.
Sementara di darat, pasukan Trunojoyo terus digempur VOC, namun jengkal demi
jengkal tanah kekuasaan Laskar Madura dipertahankan dengan gigih. Perang
besar antara kaveleri dan infanteri berkekuatan 35.000 tentara melawan VOC
dan sekutu-sekutunya terjadi di Kediri pada tanggal 25 November 1678.
Walaupun kekuatan pasukan Trunojoyo besar akan tetapi kalah dalam segi
persenjataan, maka Kediri pun jatuh.
Setelah Kediri jatuh, sisa-sisa kekuatan Laskar Madura pindah ke Blitar.
Pangeran Trunojoyo menerapkan Perang Gerilya. Dari Blitar, Pangeran
Trunojoyo melanjutkan memimpin pasukan ke Malang. Dalam sistem Gerilya ini,
pasukan Trunojoyo banyak yang mati syahid, karena memang tidak pernah
membayangkan akan terjadi perang di balantara hutan tanah Jawa yang masih
perawan. Banyak juga yang meninggal karena terserang panyakit. Dari Malang,
Pasukan Trunojoyo memutar dan membikin markas komando di Batu.
Dalam keadaan terjepit, pasukan Trunojoyo tetap mendapat bantuan pasukan
dari Kertosono, Ponorogo, dan Madura sendiri yang dikirim melalui Wirosobo.
Dari Batu, pasukan ini membuat benteng pertahanan di Ngantang. Sementara
Karaeng Galesong, membuat pertahanan di Bangil dan Kapar, ujung selatan
sungai Porong. Pada tanggal 23 Agustus 1679 pasukan gabungan Bugis dan VOC
menyerbu markas tentara Makasar di bawah pimpinan Jacob Couper dan Kapten
Joncker dari Ambon. Dalam pertempuran di Kapar ini Karaeng Galesong dan
ratusan pejuang Makasar mati syahid.
“Pamanda Panembahan Macan Wulung. Kita sama-sama mendengar bahwa Karaeng
Galesong telah syahid di mendan juang. Kita pun tak akan lama lagi akan
mengalami nasib sepertinya.” ujar Pangeran Trunojoyo setelah cukup waktu
membuat pertahan di Ngantang.
“Iya, ananda. Firasat pamanda memang mengatakan demikian. Tapi, kita akan
dicatat dalam sejarah dengan tinta emas bahwa perjuangan kita ini tak akan
sia-sia.”
“Insya Allah, apa yang pamanda katakan, memang perjuangan ini tak akan
sia-sia.” sambil mendesah pelan Trunojoyo melanjutkan, “kita dan pasukan
yang tersisa ini akan syahid dunia akhirat.”
Ternyata percakapan antara paman dan keponakan di atas adalah percakapan
terakhir kali. Pasukan VOC yang telah mengalahkan pasukan Makasar di Bangil
dan Kapar, kini telah merangset menuju Malang. Jelas kini, ada dua pasukan
VOC yang siap dengan senjata lengkap mengepung bala tentara Panembahan
Maduretno dari arah barat dan timur. Secara logika, tak mungkin memenangkan
peperangan dengan pasukan yang tersisa dan kelelahan melawan pasukan
terlatih ala Eropa dengan senjata termodern pada masanya. Tapi sebagai
ksatria dari Madura dan didikan agama Islam yang mendalam, tak mungkin
Trunojoyo menyerah begitu saja. Syahid yang memang ia rindukan akan segera
ia temui. Allah akan meletakkannya di surga yang dipenuhi para bidadari yang
maha cantik. Darahnya akan harum seharum bunga kasturi, yaitu bunga surgawi.
Komitmen membela agama dan bangsanya dari jajahan kuffar Belanda akan segera
nampak.
Pada hari Senin tanggal 19 Muharam 1102 Hijriah/29 Desember 1679 Masehi,
Panembahan Maduretno dan pembesar-pembesar dari Madura dapat ditangkap
hidup-hidup oleh Kapitan Joncker. Panembahan Macan Wulung dan pembesar
lainnya dieksekusi di tempat penangkapan, Ngantang. Sedangkan Panembahan
Maduretno diserahkan ke Amangkurat II yang ikut bala pasukan VOC pimpinan
Speelman dari arah barat Kediri.
Empat hari kemudian, yaitu pada tanggal 2 Junuari 1680/23 Muharam 1102
Hijriah, Panembahan Maduretno dihukum mati dan ditusuk sendiri oleh
Amangkurat II dengan kerisnya sendiri. Dia syahid di tangan kakak sepupunya
sendiri, seorang yang dengan bangganya bersekutu dengan kuffar Kompeni,
menjual kehormatan tanah Jawa pada penjajah. Trunojoyo telah syahid
sebagaimana yang ia cita-citakan sejak dahulu waktu mondok di Pedepokan
Giri, dan dilanjutkan di pondok pesantren Kajoran. Syahid di tangan sebangsa
dan seagamanya sendiri. Namun, mana yang hak, dan mana yang batil, semuanya
telah jelas dalam lembaran sejarah. Qul ja’a haqqa wa zahaqal batil, innal batila kana zahuqa.
Makam sang syahid itu sekarang terdapat di Bukit Selokurung, Ngantang,
Kediri. Di bukit itu, istrirahat abadi para syahid yang terbunuh dalam
Perang Trunojoyo, antara lain Karaeng Galesong sang menantu Trunojoyo,
Panembahan Macan Wulung sang penasehat spiritual Trunojoyo, dan ratusan
tentara Madura, Makasar, Kediri, Malang, Ponorogo, Blitar dan lain-lain,
yang ikut bertempur melawan VOC. Yang sempat menyelamatkan diri, pergi ke
Dampit, Malang Selatan. Hingga saat ini, Dampit didiami oleh orang-orang
Madura bercampur orang-orang dari Makassar.@
Catatan : Semua hari dan tanggal yang terpampang di atas adalah
fiktif.
Guluk-Guluk, 22 Oktober 2017, ditulis dalam rangka Hari Santri
Nasional.
Komentar
Posting Komentar