DIALEKTIKA BACA-TULIS
Oleh : Uzlifatul Jannah
Sadar atau tidak, menulis merupkan sesuatu yang sangat penting bagi
setiap orang, terutama mereka yang menginginkan nilai-nilai kebaikan dalam
hidupnya. Boleh dikata, pasangan manusia adalah membaca, dan sebaliknya.
Membaca dan menulis ibarat dua sisi mata uang ‘two in one’. Tak dapat dipisah
antara satu dengan lainnya.
Menulis adalah bekerja untuk
keabadian. Karena abadi, maka ia sangat signifikan untuk masa depan kita. Sebut
saja misalnya, jika buah tangan tulisan kita bermuatan ilmu yang bermanfaat,
tentu akan termasuk salah satu apa yang dikatakan Rasullah SAW mengenai tiga
hal yang tak akan terputus meskipun orang yang bersangkutan telah meninggal
dunia, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak-anak yang baik.
Sepanjang buah tangan kita, yang berupa karya tulis itu dibaca khalayak dan
banyak memberikan manfaat, maka pasti kita akan mendapat taburan pahala
kebaikan, dan itu terus mengalir kepada sang penulis meskipun telah wafat.
Bar Bara, seorang penulis Barat mengatakan: “menulis merangsang
pemikiran. Jadi saat Anda tidak bisa memikirkan sesuatu untuk ditulis, tetaplah
mencoba menulis.” Penuturan ini jelas mengisyaratkan bahwa menulis merupakan
kegiatan yang bersifat positif dan penting. Demikian pula akan pasangan
menulis, yaitu membaca. Kegiatan ini beralektika secara semetris dengan
menulis. sebagaimana kehidupan yang tercipta secara berpasangan.
Dalam akumulasi tertentu, semakin
kita sering membaca, maka semakin sering pula buah karya kita lahir. Semakin
sering kita menyelami khazanah ilmu pengetahuan, maka semakin kaya juga wawasan
dalam tulisan kita. Nah, dengan demikian dalam hal ini ada dialektika dahsyat
antara membaca sebagai input dan menulis sebagai output yang kita hasilkan.
Hubungan antara membaca dan menulis itulah yang kemudian dijadikan suatu teori
‘mengikat makna’ oleh Hernowo Hasyim.
Bahkan, menurut Wawan Susetya, seorang penulis besar
pernah menuturkan, bahwa maju tidaknya suatu negara, dapat dilihat dari jumlah
ketersediaan fasilitas perpustakaannya. Semakin banyak jumlah dan
berkualitasnya perpustakaan di suatu negara, maka dapat diperkirakan negara
tersebut akan semakin maju. Dengan demikian, buku yang identik dengan ‘jendela
ilmu’ atau ‘gudangnya ilmu’ tidak bisa tidak meski diupayakan, karena ia
merupakan agen perubahan dan kemajuan.
Sebagaimana ayat pertama turun,
yaitu iqra’ (bacalah), hal itu jelas
mengisyaratkan bahwa membaca merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat
manusia. Tentu, membaca di sini bersifat bebas, sesuai dengan bahan literasi
yang kita miliki dan/atau yang kita inginkan. Siapapun kita, jika kita
mempunyai kebiasaan membaca, maka tentu kita dapat menulis dengan baik dan
bebas pula.
Stephen King, seorang penulis produktif lebih dari 350 buku di abad
kita ini, berkata: “membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh
seseorang”. Kalimat pendek ini pantas kita renungkan bersama, yaitu bahwa
membaca mempunyai hubungan mutualisme dengan menulis, sebagaimana Hernowo
Hasyim singguh, bahwa penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik
pula.
Menulis sangat penting bagi kita.
Tentu saja, yang dimaksud adalah menulis yang positif dan mendatangkan manfaat.
Dengan demikian, karya kita itu dapat diharapkan bisa memberantas kebodohan dan
tersebarnya ilmu pengetahuan. Hal ini tentu sangat sesuai dengan amanah
Pembukaan UUD 19445, yaitu Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.
Akhirnya, point penting menjadi
seorang penulis bukan terletak pada kepopuleran, dan banyaknya rupian serta royalti
buku yang diterima. Tetapi lebih ke arah kepuasan batin. Maka dari itu, kapankah Anda mulai menulis?
Penulis adalah siswi kelas IX
Favorit MTs 1 Putri Annuqayah. Aktif di club sastra MTs 1 Pi.
Komentar
Posting Komentar