BACA-TULIS (BERHITUNG) PENYANGGA PERADABAN ISLAM

Oleh : Noer Imamah, S.Si
Di antara agama-agama samawi, boleh jadi, perintah “membaca” yang datang pertama kali, hanya Islam-lah yang mengalaminya. Kita lihat, misalkan dalam agama Yahudi, yang sangat terkenal dengan Sepuluh Firman Allah (dekalog) yang merupakan kumpulan prinsip Biblika, yang tercantum dalam al-Kitab Ibrani dan Perjanjian Lama, pertama di kitab Keluaran 20: 2-17, kemudian di kitab Ulangan 5: 6-21. Tak satupun perintah membaca dapat kita ketahui.
Demikian pula apabila kita mencoba menelisik kitab Perjanjian Baru, baik Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, tak satu pun kita dapatkan suatu perintah khusus dalam hal membaca di atas. Boleh jadi, inilah kelebihan agama Islam di atara agama samawi lainnya. Membaca, ditambah dengan menulis, dan berhitung, peradaban Islam pernah mengalami masa-masa gemilang.
Menurut Fathullah Gulen, seorang Ulama Turki yang terpinggirkan, perintah “membaca” yang terdapat di dalam surah al-‘Alaq, adalah simbol tauhid, keterpaduan, dan penyempurnaan. Perintah ini juga merupakan simbol penyaksian dan penilaian, disamping ekspresi lisan terhadap pengetahuan batin. Ia mengandung banyak petunjuk bagi kita dengan melihat keberadaannya sebagai perintah pertama untuk kita.
Menurut Quraisy Syihab, kata ‘iqra’’ berasal dari kata kerja qara-a yang pada mulanya berarti ‘menghimpun’. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa ‘iqra’’ tidaklah mengharuskan adanya teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, kita dapat menemukan beraneka ragam arti dari kata tersebut dalam kamus-kamus bahasa, antara lain: menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui, ciri-ciri sesuatu, dan lain-lain, yang semuanya dapat dikembalikan kepada hakikat ‘menghimpun’ di atas. Sedangkan menurut Yusuf Qaradhawi, kata iqra’ secara etimologi berarti membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku. Sedangkan secara terminology, yaitu membaca dalam arti yang sangat luas, yakni membaca fenomena alam semesta ini.
Dengan demikian “membaca” merupakan basis dari seluruh proses bagaimana kita berislam. Untuk menjadi seorang mukmin diwajibkan untuk melalui proses “membaca”. Proses ini akan membuka kita dari kejumudan dan keterbelakangan berpikir, kefanatikan buta, kenaifan keyakinan, kerancuan berpikir, ketidakmampuan menggunakan logika dan kemandulan akal sehat.
Sayangnya, walaupun perintah “membaca” sangat luas untuk mengoptimalkan kemampuan akal dan pikiran, namun kenyataan yang sering menimpa kita, yaitu kita selalu bersikap jumud, fanatik buta, taqlid keterlaluan, terkungkung dalam berbagai pemikiran penuh khurafat, mistik, dan tidak logis. Sehingga akibat yang dapat kita terima, kita tak pernah lagi memimpin dalam peradaban sejak empat ratus tahun belakangan ini. Kita hanya membaca dalam sejarah, bahwa yang menemukan Aljabar adalah Imam al-Khawarizmi. Setelah itu, kita tak pernah benar-benar bangkit lagi sebagai pioner Ilmu Pengetahun dan Teknologi.
Disayangkan pula, walaupun perintah “membaca” akan melahirkan keterampilan “menulis”, sebagaimana ditempuh para ulama abad cemerlang ratusan tahun yang lalu, seperti Imam al-Ghazali, Imam Nawawi, Ibnu Rusydi, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, al-Haitami, al-‘Arabi, dan sebagainya. Namun, sejak penetrasi penjajah mengeksploitasi bumi umat Islam dengan sistem kolonialismenya, umat ini sengaja diperbodoh oleh para penjajah itu. Sejak itu hingga kini pun umat ini sulit bangkit kembali dalam menelorkan hasil tulisan yang berupa eksperimental dalam bidang eksakta misalnya. Jika al-Ghazali menulis buku tentang eksperimen ilmu-ilmu Kimia, dimanakah kini ada ulama yang mengikuti jejaknya? Jika al-Idrisi menulis buku tentang bentuk dan ukuran bumi ini dengan peta akurat yang digunakan di Barat ratusan tahun kemudian, dimanakah ada ulama sekarang yang dapat menulis dalam ilmu ini? Jika al-Khawarizmi menulis buku tentang pengindraan jauh dengan teropong bintangnya, disamping buku matematika misalnya, sekarang dimanakah ulama yang mempunyai keahlian dalam bidang Fisika itu? Ya, mungkin jawabannya hanya satu, yaitu Abdul Kalam Azzad, Bapak Nuklir Pakistan di abad XX lalu. Yang lainnya? Habibi? Bolehlah, tapi beliau bukan ulama ‘kan?
Akhirnya, tak ada alasan lain, jika ingin memimpin dunia ini lagi dengan peradaban gemilang, membiasakan lagi ruh membaca dan menulis, serta berhitung menjadi bagian inti keseharian kita. Tanpa itu, nonsense kita kembali bangkit. Dan, kebangkitan itu di awal bad XXI ini mulai dirasakan dengan semakin banyaknya umat Islam menekuni ilmu-ilmu eksakta, namun tetap menjadi ahli agama. Suatu misal, adalah apa yang ditekuni oleh Andi Oktavian Lathief yang sekarang menempuh S3 Fisika Molekul di Birmingham University, ternyata juga telah hafal 30 juz al-Qur’an dan hafal pula kitab Bukhari-Muslim. Jika Andi-Andi yang lain bermunculan, maka peradaban umat ini akan kembali bangkit.  Wallahu a’lam@


*Penulis adalah alumni MTs 1 Putri Annuqayah tahun 2009. Lulus dari FMIPA, UNEJ 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBENTUK IKLIM KETERBACAAN SISWI MTs 1 PUTRI ANNUQAYAH

OPINI SISWA

RAPAT TRIWULAN PIMPINAN DAN WAKA