AIR MATA DI PONDOK PESANTREN
Oleh : Faiqotul Muammanah
Hari ini adalah hari di mana aku akan
merubah kebiasaanku dan menjalankan kehidupan sehari-hari dengan berbeda. Aku
akan pergi mondok di pondok pesantren. Merubah pola tingkah yang lebih baik.
Berubah dari kebiasaan kurang pantas kepada suatu kebiasaan yang lebih baik,
lebih terpelihara. Dan tentu saja, lebih menjaga sopan-santun. Ini harapan
kedua orang tuaku memondokkanku. Tak ada harapan lain, selain bagaimana nanti
aku lebih baik. Maka segala sesuatu telah aku siapkan.
“Nak. Apa segalanya sudah siap?” Panggil
Ummi.
“Ya, Mi”. Jawabku singkat.
Aku memang telah siap segalanya.
Termasuk nanti kemungkinan-kemungkinan. Lebih-lebih kemungkinan tidak kerasan.
Semua barang yang menjadi bekalan di pondok, telah aku siapkan; ada lemari
kitab, sabun mandi, shampoo, parfum, buku tulis, sejadah, rukuh, dan tentu saja
sepatu baru, serta baju-baju baru.
Namun, benar dugaanku. Sesampai di
pondok pesantren, rasa tidak kerasan menghantamku bertubi-tubi. Segala
persiapan untuk mondok seakan sia-sia. Semua menjadi hambar. Hambar
sehambar-hambarnya! Segala bujuk rayu dan canda tawa teman-teman sekamar yang
memang belum aku kenal, seakan siksaan tersendiri yang menyelimuti perasaan
gundah hendak pulang. Diriku tidak rela untuk ditinggal Ummi, Abi, adik, dan
nenekku yang sudah sepuh.
“Ummi…!” panggilku lirih. Setetes air
mata membasahi pipiku. Aku seakan tidak malu menangis di depan teman-teman
sewaktu mereka menemui orang tua masing-masing di beranda tempat pertemuan
khusus antara santri dengan orang tuanya. Aku tersedu dalam pelukan ibuku.
Sejenak, air mataku diseka oleh beliau. Aku benamkan wajahku dan perasaanku
dalam pelukan hangat seorang ibu.
“Ummi…aku tak mau mondok. Aku kangen
nenek dan adik, Mi,” ujarku tetap dipenuhi perasaan masygul.
“Nak, kamu harus tetap semangat, Ummi
yakin bahwa kau mampu bertahan di sini. Kalau kau kerasan di sini, Ummi akan
sangat berbahagia.” Ucapnya dengan penuh kasih sayang.
Sekali lagi, kepalaku dielus dengan
lembut. Dalam keadaan seperti ini, berada di dekat Ummi tangisanku mereda.
Elusan lembut tangan beliau membuatku menjadi tenang. Air mataku berhenti
menetes. Sekali lagi, semangat beliau agar aku menjadi tegar dan tabah, kembali
timbul. Namun, sulit bagiku melawan ketidakkerasanku ini.
Kembali air mataku meremang tatkala aku
melihat Abi yang sejak tadi hanya melihatku bersama Ummi.
“Abi…,” panggilku lirih.
“Ada apa nak?” Tanya Abi.
“Aku tidak ingin berpisah dengan Abi,
Ummi, dan adik serta nenek. Aku sangat sayang semuannya, Abi.” Ujarku kembali
menangis.
“Abi juga sayang sama kamu, nak. Makanya
kau harus belajar, bersabar, dan selalu berdoa agar kau mendapat kekuatan di
pondok ini.” Abi terus memberikan nasihat agar aku luluh dan kerasan di pondok
ini. Beliau mengharap agar tabah dalam menghadapi segala cobaan. Dan kehidupan
ini harus ditempuh dengan proses yang panjang.
Cara Abi memberikan semangat dengan
suara yang berwibawa dan tegas itu kembali menghentikan tangisanku. Aku mencoba
kuat dalam hal ini. Aku yakin, teman-teman sekamarku yang sekarang banyak
bercanda itu, dulu pernah juga mengalami sepertiku ini. Tidak kerasan. Jika
mereka berhasil melewati tantangan ketidakkerasan itu, mengapa aku tidak
sanggup? Itu mustahil.
Pelan tapi pasti, akhirnya aku
mengangguk pertanda setuju atas perkataan beliau.
“Nak. Ingat pesan Abi ini. Kamu jangan
pernah menjai sombong. Dengan teman-teman di pondok ini, buatkan dirimu akrab.
Sapa dan senyum jadikan sebagai perilaku harianmu. Perbanyak mengaji al-Qur’an.
Dan terus membaca buku-buku penting sebagaimana kesukaannmu waktu di rumah.
Tulislah apa-apa yang menjadi keinginanmu dalam mengarang. Berkaryalah dalam
bentuk tulisan.” Beliau terus memberikan nasihat yang sangat berguna.
Aku usap air mata yang mulai mengering
di pipi ini. Aku berjalan menghapiri adikku yang ikut Ummi dan Abi. Adikku
hanya diam sejak tadi. Ia merasa aneh melihatku sangat manja, tak seperti di
rumah. Atau mungkin, adikku merasa betapa cengengnya aku saat ini. Cengeng
karena sudah besar masih saja tidak kerasan tinggal di pondok.
Kupeluk adikku erat-erat. “Dik, mbak
sangat menyayangimu. Sekarang mbak harus berpisah denganmu. Semua hanya demi
cita-cita, dik. Cita-cita agar mbak menjadi seorang Muslimah sejati.” Aku masih
terus memeluknya. Kucium pipinya. Aku tak bisa meninggalkannya, tapi aku harus
melakukannya. Aku harus tabah berpisah dengan orang-orang yang sangat aku
sayang.
Beberapa saat kemudian, Ummi, Abi, adik
dan semua orang yang mengantarku ke pondok pamit untuk pulang. Kembali air mata
menetes, namun aku mengangguk memberi isyarat bahwa aku menyetujuinya walau
dalam hati aku tak pernah menginginkan ini.
Setelah mereka hilang dari pandangan,
aku kembali tersedu. Mbak-mbak pengurus datang menghibur. Teman-teman sekamar,
yang belum aku kenal, datang untuk menghibur. Namun, air mata ini terus
menetes. Hingga pada akhirnya aku mendengar kumandang adzan Dhuhur dari masjid
Jamik Annuqayah. Baru kemudian linangan air mataku berhenti setelah tersapu air
wudhu’ untuk pertama kalinya. @
Penulis saat Kelas VIII Dinamis MTs 1
Putri Annuqayah, bermukim Lubangsa Utara.
Komentar
Posting Komentar