MEMORI KEBUN KOPI DURJA


www.ahmadmuhli.wordpress.com

Kebun kopin dusun Durja, desa Karangpring, Sukorambi, Jember, peninggalan Belanda. Di plakat gudang kopi, terdapat angka tahun 1923. Berarti gedung ini dibangun awal abad XX. Namun, kebun kopinya, jauh dirambah sebelum tahun itu. Hutan yang dirambah oleh masyarakat Madura berada di lereng gunung Anjasmara, atau orang Jember menyebutnya; gunung Iyang, 30 kilometer di utara kota Jember. Hutan di lereng gunung ini dulunya dikenal habitat macan Tultul.  Saat ini sang macan sangat sulit ditemukan lagi, kecuali memaksakan diri masuk jauh ke utara, ke tengah-tengah gunung yang menyeramkan ini. Perambah hutan sengaja oleh Belanda datangkan dari pulau Madura. Entah alasan apa Belanda sering menggunakan jasa orang-orang Madura dalam urusan kerja keras. Mungkin ada filosofi yang melekat pada orang Madura dulu; pekerja keras, ulet, pantang menyerah, dan suka bekerja secara gotong-royong. Belanda ternyata belajar pada sejarah pendirian kerajaan Majapahit, di mana hutan Tarik di Mojokerta, yang merambah adalah orang-orang Madura juga.
Aku generasi ke tiga dari para perambah hutan gunung Iyang itu. Aku pun tetap merawat nilai-nilai kemaduraan yang diwariskan oleh kekak buyutku. Desa ini, semua orang Madura. Beragama Islam 100%, dan berbicara bahasa Madura dalam keseharian. Bahasa Madura adalah bahasa ibu di sebagian besar wilayah kabupaten Jember. Namun, bahasa Jawa pun aku paham, sebab mobilitas masyarakat Madura yang memang hebat, bergaul pula dengan masyarakat Jawa, sehingga orang-orang Madura, seperti aku mengerti bahasa Jawa, dan orang-orang Jawa, seperti temanku, Darso pun mengerti bahasa Madura. Sebuah akulturasi yang sangat baik untuk urusan perpaduan dua budaya yang sebenarnya memang mirip itu.
Sebagai generasi perambah hutan, aku dengan sendirinya bekerja dan mencari penghidupan dari kebun kopi ini. Sama dengan ayah dan ibuku yang mengikuti jejak kakek dan nenekku. Keluargaku punya kebun sendiri. Kebun kopi yang telah dimiliki oleh masyarakat biasa disebut kebun rakyat. Akan tetapi, pabrik, demikian masyarakat sekitar menyebut atas bangunan yang berdiri sejak tahun 1923 itu, punya kebun tersendiri yang sangat luas terbentang hingga ke punggung gunung Iyang di utara dari kampung Durja. Karyawannya berasal dari kampung-kampung di desa Karangpring ini dan desa sekitarnya, termasuk juga aku. Biasanya, aku dan lainnya menjadi karyawan sebagai pemetik buah kopi, pemelihara pohonnya bila belum panen. Orang pemetik kopi seperti aku sulit mendapat tempat yang bagus dalam pabrik, seperti menjadi mandor, atau kepala bagian tertentu, sebab aku hanya berijazah SMA. Orang yang duduk dibagian itu rata-rata keluaran perkuliahan.
Di sela-sela memetik dan memelihara pohon kapi itulah, aku dan lainnya berkesempatan memelihara atau memetik kopi miliknya sendiri. Kopi dari kebun rakyat, biasanya dijual ke masyarakat lokal sendiri, atau buat oleh-oleh bila aku ke famili di Madura. Sedangkan kopi-kopi dari pabrik, biasanya diekspor ke berbagai negara di dunia. Ada juga yang menjadi bahan baku pengolahan kopi-kopi instant dalam negeri. Jenis kopi pabrik Durja sama dengan jenis kopi rakyat, yaitu Torabica. Terkadang juga, aku mengolah kopi dari kebunku menjadi kopi moseng, atau biasa dikenal dengan Luwak Kopi. Kopi hasil dari kotoran hewan musang ini sangat digemari orang-orang kaya dan pejabat-pejabat tinggi. Wajar apabila harganya sangat mahal.
Sebagai karyawan rendahan, aku jelas tidak bergaji tinggi. Tiap bulan, aku dibayar sebesar 1.500.000 rupiah. Namun, karena keluargaku dan orang-orang pekerja kasar lainnya diberi kesempatan mempunyai kebun kopi sendiri, maka tentu lebih lumayan penghasilanku dan keluargaku, serta masyarakat kampung ini apabila ditambah dengan hasil panen kopinya sendiri. Tapi, karena panen kopi hanya satu tahun sekali, tentu saja untuk mendapat hasil melimpah harus menunggu satu tahun pula. Ini lebih baik dibandingkan, misalnya tembakau yang sangat tergantung pada musim. Kopi tak terpengaruh besar pada musim. Harganya pun lebih stabil daripada tembakau. Kopi sangat dihargai oleh masyarakat di manapun, setiap masyarakat nanggap kenduri, secangkir kopi harus ada di hadapan para undangan. Tembakau bernasib berbeda. Daun dari pohon tembakau itu sering dicaci sebagai asal-muasal penyakit kronis.
Karena gaji tetapku hanya kecil, aku dibiasakan hidup irit oleh keluargaku secara turun-temurun. Aku tidak dibolehkan membeli sesuatu yang berlebihan atau kurang dari kebutuhan. Aku pun jarang turun ke kota Jember, kecuali jika ingin melihat marathon TAJEM (Tanggul-Jember) setahun sekali. Selebihnya, jika mau beli baju, celana, sarung, songkok, itu pun sebatas ke pasar Tanjung. Jarang sekali aku ke pasar Johar Plaza atau Matahari.
Dalam urusan asmara, aku cukup hati-hati. Pernah aku jatuh cinta waktu SMA, namun aku mundur karena kurang percaya diri melihat sainganku kaya-kaya, dan cewek itu sendiri cukup matre. Selepas itu, aku langsung kerja di kebun kopi ini, dan sangat jarang berinteraksi dengan cewek. Sampai suatu ketika, datanglah pekerja cewek dari desa sebelah.
Di dusun ini, atau di sekitar perkebunan Durja, pernikahan masih diatur oleh orang tua. Sebagaimana adat orang Madura, pertunangan pun demikian. Dan kawin muda masih hal biasa. Namun, buat ayah dan ibuku, hal seperti itu tak berlaku. Orang tuaku tak secara ketat mengatur perihal perjodohan. Aku sebagai anak tertua, dan dua adikku perempuan, tak ada yang bertunangan waktu kecil. Tapi adik tertuaku, selepas Aliyah, tetap ditunangkan dengan dua pupuku, dan segera menikah, sekarang telah beranak dua. Dan adik terakhirku, kini ada di pondok pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.
***
Aku secara umur memang telah pantas menikah, sampai detik itu, masih belum menemukan jodoh yang pas. Cewek dari desa sebelah kuperhatikan lekat waktu istirahat siang untuk menunaikan shalat Dhuhur. Tak terlalu tinggi, tapi tak terlalu pendek. Kulit yang dibalut pakaian kerja khas pekebun terlihat putih. Dia berjilbab, menandakan taat pada ajaran Tuhannya.
“Assalamu’alaikum, dik. Pekerja baru, ya?”
“Wa’alaikumsalam, ya, kak. Kakak juga pekerja di kebun ini ya?”
“Ya, namun aku mulai kerja di sini sejak baru lulus SMA.”
“Oh, ya? Sama dong, kak. Aku baru lulus tahun ini, dan alhamdulillah diterima kerja di sini.”
Duh, gadis ini masih bilang syukur alhamdulillah bekerja di kebun yang sunyi ini? Luar biasa cewek ini. Biasanya, cewek-cewek sekarang lebih memilih pekerjaan yang lebih santai atau ringan, seperti menjadi kasir di toko-toko swalayan. Akan tetapi cewek ini berbeda pikiran dengan kaumnya itu. Ia lebih memilih berkerja di perkebunan yang cukup melelahkan bagi kaum perempuan, namun lebih menyehatkan badan. Dan lagi, bagi pekerja awal sepertinya, gaji yang ia terima pasti masih jauh dari pekerja-pekerja lama. Mungkin sekitar 800.000 rupiah tiap bulan.
“Oh, ya! Namaku Amjun. Panggil saja Jun. Kamu siapa, dik?”
“Hehe…ya, kak. Namaku Karimah, panggil saja Rima. Kak Jun sudah bekerja di kebun kopi ini sejak lulus SMA, itu kapan?”
“Aku bekerja sudah enam tahun lalu, dik Rima. Yach…namanya saja bekerja di kebun yang bercorak hutan seperti ini, rasa bosan kadang menyergapku. Tapi, aku tak mungkin mencari pekerjaan di kota sebab pekerjaan di sini diturunkan dari kakekku dulu. Turun-temurunlah bekerja di kebun kopin Durja ini. Namun, aku penasaran padamu, bukankah dari desa sebelah sana, desa Kelungkung, mengapa kau pilih bekerja di kebun ini?”
“Tahu sendiri ‘kan, kak Jun, bagaimana sulinya mencari pekerjaan di zaman sekarang. Teman-temanku banyak yang bekerja di kota, dan sebagian ada yang kuliah. Mereka tidak mau bekerja di kebun seperti aku, kak. Mungkin gengsi, atau takut pada hal-hal yang berat-berat. Aku berpikir, ketimbang aku pergi ke kota juga, berjubel dengan mereka, lebih baik aku mencari pekerjaan yang tak banyak direbut orang, namun gaji tetap seimbang dengan mereka, halal dan lebih mengandalkan badan. Di mana tempat itu jika bukan di kebun kopi ini, ‘kan kak Jun?”
“Hebat, kau, dik Rima. Hebat! Sulit mencari gadis seperti kau di zaman yang serba instant ini. Baikklah, aku pulang sebentar mau shalat dulu. Kamu tidak mungkin pulang ‘kan? Lebih baik shalat di masjid pabrik kebun kopi ini, ya. Assalamu’alaikum.”
“Ya, kak Jun. Wa’alaikumsalam.”
***
Entah mengapa, sejak aku bertemu dengan Rima, aku dihinggapi perasaan yang tak seperti biasanya. Aku mudah akrab dengannya. Dan pula, aku senang dengan suaranya, lembut dan sangat sopan. Entahlah, aku selama enam tahun bekerja di kebun ini sampai umurku mencapai 25 tahun, perasaan aneh itu baru datang saat ini. Apakah ini cinta? Ah, benarkah aku jatuh cinta di kebun kopi ini? Hem, sulit untuk menjawabnya.
Yang jelas, pertemuan pertama telah memberikan kesan dan pesan mendalam bahwa cewek itu memang baik. Lebih-lebih soal ibadah, ia selalu tunaikan dengan tepat waktu. Dari soal ibadah saja telah memberikan kesan bahwa ia anak shalehah. Pernah juga ia mengajakku shalat berjamaah di masjid pabrik, namun aku tolak sebab aku harus pulang dahulu yang memang rumahku dekat dekat kebun kopi ini. Bukan tidak senang aku shalat berjamaah dengan ia, tapi di rumah aku punya piaran sapi yang harus aku beri pakan siang juga. Dan lagi, dengan shalat di rumah aku pun dapat istirahat sejenak, sebab ada waktu satu jam untuk kembali bekerja di sore hari.
“Kak Jun, mengapa kakak tidak mau kuajak untuk shalat di masjid pabrik?”
Ah, malu aku jika harus berterus terang, tapi tak baik juga jika soal sepele harus disembunyikan.
“Aku mempunyai hewan piaraan yang harus aku beri makan siang, dik Rima.”
“Kakak tinggal sendirian, ya? Maksud aku, apa kakak belum beristri? Atau, paling tidak, ada ayah atau ibu yang bisa membantu memberi makan hewan piaraan kakak?”
“Belum, dik. Malah sampai detik ini masih cari calon pendamping hidup. Ayahku telah meninggal dunia empat tahun silam. Namun ibuku,alhamdulillah masih sehat wal ‘afiyat. Tapi untuk ikut bantu mencarikan rumput buat sapi-sapiku, rasanya kasihan. Ya, kadang beliau ikut bantu mencarikan pakan untuk satu ekor. Tapi itu tak tiap hari.”
“Oh, jadi kakak tidak punya ayah lagi? Maaf, ya kak Jun. Bukan maksud aku mengingatkan kisah sedih kakak.”
“Tak apa-apa, dik. Aku juga ingin bertanya sesuatu padamu, boleh?”
“Boleh, kak. Tentang apa?”
Sekilas aku pandangi wajahnya waktu aku menjawab bahwa sampai saat ini masih belum menemukan jodoh, wajah itu sedikit merona. Sepertinya ada respon tersembunyi dalam diri Rima.
“Apakah kamu tidak bertunangan, atau masih belum punya pacar?”
Rona di wajahnya semakin menjadi. Dari rona itu sebenarnya telah memberi jawaban padaku bahwa ia memang tidak mempunyai siapa-siapa sebagai tambatan hatinya. Namun agar aku dengar dari mulut indahnya, terpaksa aku harus menunggu jawaban itu. Aku bertanya perihal tunangan terlebih dahulu sebab ia berasal dari desa sebelah yang sama-sama berpenduduk orang Madura. Sebagaimana di desaku, di sana hal pertunangan dan nikah muda masih biasa terjadi.
“Pernah aku ditunangkan waktu MTs, kak. Namun setelah aku kelas XI SMA tunanganku ketahuan berpacaran dengan gadis lain. Terpaksa pertunangan itu aku putus. Sejak itu, aku jadi malas jatuh cinta lagi, kak.”
“Alhamdulillah, jika demikian, dik.”
“Memang mengapa, kak Jun?”
“Ya, bersyukur saja, dik Rima. Kita ngomong begini tak ada orang curiga, sebab aku sendirian dan kau pun demikian. Bagaimana jika kita menikah, dik?”

Pertanyaan terakhir itu membuatnya gugup. Lama membisu, aku pun mendiamkan suasana sunyi di tengah kerja kami memetik kopi itu berjalan seiring waktu di pagi menjelang siang. Sebentar lagi pertanda shalat Dhuhur akan terdengar sayup dari masjid pabrik. Diamnya berarti telah ada jawaban bahwa cewek itu setuju. Diamnya adalah mutiara, dan senyumnya adalah surga dunia. Ia tak mengajakku shalat berjamaah lagi, namun kini akulah yang menuntunnya menuju keharibaan Ilahi. Sejenak aku melupakan tugasku memberi pakan pada sapi-sapi di rumah. Sementara di masjid pabrik ini, cinta kami bersemi bersama keabadian Ilahi.@

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBENTUK IKLIM KETERBACAAN SISWI MTs 1 PUTRI ANNUQAYAH

OPINI SISWA

RAPAT TRIWULAN PIMPINAN DAN WAKA